Ahad 14 Jan 2024 21:07 WIB
50 Tahun Malari

50 Tahun Malari, Peneliti Asing Sebut Ada Intrik di Tubuh TNI

Ada intrik tersendiri di tubuh TNI yang memengaruhi peristiwa Malari.

Soeharto
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Soeharto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peristiwa Malari tahun ini berumur 50 tahun. Ada banyak faset yang bisa kembali ditengok dari salah satu peristiwa kerusuhan terbesar di awal Orde Baru itu. Sejumlah buku dan para tokoh yang terdampaknya pun sudah sempat memaparkan peristiwa itu dari sudut pandang mereka. Benang merah Peristiwa Malari adalah ketidakpuasan berbagai pihak pada pemerintah Orba, yang awalnya dianggap akan mampu memperbaiki perekonomian dan memberantas korupsi. 

Adam Schwarz dalam bukunya ‘A Nation in Waiting: Indonesia in The 1990’s’ mencoba menerangkan mengapa peristiwa itu bukan sekadar aksi pembakaran oleh massa maupun kejengkelan pada investasi Jepang. Menurut dia, ada polemik di tubuh TNI ketika itu yang juga ikut bermain. 

Baca Juga

Berikut cuplikannya: 

Pemberantasan korupsi bukanlah prioritas utama pemerintah. Korupsi malah menjadi lebih terinstitusionalisasi, dengan perwira TNI dan mitra bisnis mereka (biasanya orang Tionghoa). Tentara melihat peran ekonominya berkembang pesat pada tahun 1950-an melalui nasionalisasi perusahaan asing dan enggan melepaskan kendali atas sumber pendapatan di luar anggaran resmi. 

Kritikus, di dalam dan di luar angkatan bersenjata, mengecam hubungan yang semakin akrab antara 'jenderal-jenderal keuangan', di antaranya Soeharto sendiri sebagai yang paling senior, dan sekelompok kecil pengusaha Tionghoa. Asisten teratas Soeharto, Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani, dianggap sebagai pemimpin 'jenderal-jenderal keuangan' dan menjadi sasaran utama kritik pers. 

Satu kelompok 'tentara profesional' mengandalkan Jenderal Soemitro, Panglima Kopkamtib, serta Mayor Jenderal Sayidiman Suryohadiproyo, wakil Kepala Staf AD, untuk menyuarakan pandangan mereka. Keprihatinan utama mereka adalah bahwa aksi 'jenderal-jenderal keuangan' itu justru membawa TNI ke dalam ketidakhormatan dan mengurangi upaya memodernisasi angkatan bersenjata. Ini adalah pertikaian lama, dimulai pada tahun 1950-an dan masih berlanjut hingga saat itu.

Di sisi ekonomi, masuknya investasi asing telah menyebabkan dislokasi serius dalam struktur angkatan kerja. Pabrik-pabrik yang intensif tenaga kerja yang dijalankan oleh pengusaha asli Indonesia kalah bersaing dengan pabrik-pabrik yang bermodal besar yang didirikan oleh investor asing. 

Jepang, merespons insentif investasi yang murah hati dari para teknokrat Indonesia, telah masuk ke Indonesia dengan besar dan terlibat dalam berbagai industri manufaktur. Banyak investor asing datang sebagai pemilik mayoritas yang terhubung dengan perwira militer yang berpengaruh atau pemilik Tionghoa Indonesia terkemuka. 

Keadaan mencapai puncaknya pada Januari 1974 ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, tiba untuk kunjungan kenegaraan di Jakarta. Pagi setelah kedatangannya, ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi di jalanan Jakarta, menuntut penurunan harga, pemberantasan korupsi, dan bubarkan asisten pribadi Soeharto. 

Banyak pihak menilai menilai bahwa Pangkopkamtib Jenderal Soemitromemang  memberikan lampu hijau kepada mahasiswa berdemonstrasi. Ini sebagai cara untuk memberikan tekanan pada Soeharto agar menjauhkan diri dari dua penasihat paling berpengaruhnya, Murtopo dan Humardhani.

Namun, pada sore hari yang sama, demonstrasi justru berubah menjadi kerusuhan di mana ratusan mobil terbakar dan toko-toko dirampok. Yang paling mencolok adalah simbol keberadaan Jepang di Indonesia, showroom Astra, perusahaan lokal yang mengimpor mobil Toyota, dibakar habis. Astra, tidak kebetulan, dimiliki oleh keluarga Indonesia-Tionghoa.

Pemerintah terkejut oleh Insiden Malari, yang dikenal sebagai kerusuhan anti-Jepang. Soemitro kemudian dituduh memprovokasi mahasiswa dan diberhentikan dari jabatannya. Sayidiman dipindahkan ke jabatan staf yang kurang penting. 

Malari juga menandai pergeseran yang menentukan dari fase kehidupan politik yang relatif terbuka dan pluralistik di bawah Orde Baru menuju fase di mana kekuatan berbasis masyarakat sebagian besar dikecualikan dan hampir tidak berdaya untuk mempengaruhi kebijakan negara.  Karena beberapa bulan setelah Malari, dua belas surat kabar ditutup dan ratusan orang Indonesia diadili atas peran mereka dalam kerusuhan tersebut. 

Kehidupan kampus dibuat sedemikian mungkin menjadi lebih tenang dan pers menjadi lebih berhati-hati. Malari juga memiliki dampak ekonomi. Undang-undang investasi diubah untuk mencegah kepemilikan asing 100 persen, memaksa investor asing baru membentuk usaha patungan dengan pengusaha lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement