Rabu 03 Jan 2024 22:15 WIB

BPBD Bali : Bencana Hidrometeorologi Tantangan Selama 2023

Bencana hidrometeorologi baik basah atau kering jadi tantangan menonjol di Bali.

Banjir di Jembrana, Bali (ilustrasi). Bencana hidrometeorologi menjadi tantangan BPBD Bali selama 2023.
Foto: ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Banjir di Jembrana, Bali (ilustrasi). Bencana hidrometeorologi menjadi tantangan BPBD Bali selama 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- BPBD Bali merangkum seluruh bencana di Pulau Dewata yang mereka tangani sepanjang 2023. Bencana hidrometeorologi baik basah maupun kering menjadi tantangan paling menonjol meski semuanya berhasil tertangani.

“Sepanjang tahun 2023 penanganan bencana yang cukup menyulitkan, antara lain kejadian bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, tanah longsor, hujan disertai angin kencang yang terjadi pada bulan Juli,” kata Kepala Pelaksana BPBD Bali I Made Rentin di Denpasar, Rabu (3/1/2024).

Baca Juga

Saat itu yang menjadi kesulitan mereka adalah titik kejadian yang sangat banyak tersebar di Bali namun jumlah personil Tim Reaksi Cepat (TRC) terbatas. "Ditambah mulai Oktober bencana hidrometeorologi kering muncul dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan di seluruh kabupaten/kota hingga bulan November," ujarnya.

BPBD Bali mencatat untuk kekeringan terjadi di Jembrana, Buleleng, dan Karangasem, kemudian kebakaran hutan di lereng Gunung Agung dan area Gunung Abang, serta kebakaran tempat pembuangan akhir yang berbarengan, yaitu TPA Suwung di Denpasar, TPA Mandung di Tabanan, dan TPA Jungutbatu di Klungkung.

“Kebakaran TPA Suwung berlangsung selama 33 hari dan melibatkan banyak pihak dari BNPB, Kementerian Lingkungan Hidup, OPD daerah, kepolisian, dan TNI,” ujar Rentin.

Rentin mengatakan yang menjadi kesulitan BPBD Bali adalah titik api dan gas metan berada di bawah tumpukan sampah yang menggunung, sehingga tidak bisa melakukan pemadaman hanya di permukaan. Di TPA, area terbakar cukup luas dan sulit diakses oleh tim darat, progres penanganan juga dipengaruhi cuaca panas dan angin cukup kencang membuat penanganannya membutuhkan waktu cukup lama.

Rentin menjelaskan, bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh aktivitas cuaca seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembapan. Penyebab dari kejadian ini adalah perubahan iklim dan cuaca ekstrem, ditambah tahun 2023 ada fenomena El Nino sehingga bencana hidrometeorologi khususnya kering meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

“Kejadian kebakaran hutan dan lahan dan kekeringan meningkat dibanding tahun 2022. Tercatat 114 kejadian karhutla di tahun 2023, hal tersebut disebabkan musim kemarau panjang dibarengi fenomena El-Nino,” ungkapnya.

Namun, untuk bencana hidrometeorologi basah menurun dari 2022, seperti banjir tahun 2023 sebanyak 53 kejadian sementara 2022 sebanyak 138 kejadian, cuaca ekstrem 2023 sebanyak 191 kejadian sedangkan 2022 sebanyak 573 kejadian. Meski tahun berganti BPBD Bali mengaku tetap mengantisipasi bencana dari kondisi alam ini karena masih ada peluang terjadi pada 2024, apalagi sudah memiliki pengalaman dalam menangani hidrometeorologi sepanjang 2023.

Adapun salah satu upaya mitigasi bencana dari hidrometeorologi basah dengan optimalisasi pemotongan pohon dan dahan yang berpotensi tumbang, dan untuk hidrometeorologi kering dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam membantu pengadaan dan pendistribusian air bersih. Dari catatannya, Rentin merangkum ada 1.254 kejadian terjadi selama 2023 dengan korban 48 orang dengan total kerugian Rp 63.758.281.000.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement