Selasa 12 Dec 2023 19:28 WIB

Himpsi Sebut Banyak Remaja Alami Keterasingan dan Kesepian

Kurangnya perhatian orang tua bisa menjadi masalah kesehatan mental di masa depan

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jaya Widura Imam Mustopo mengungkapkan, persoalan keterasingan dan kesepian tengah menjadi tren dalam kesehatan mental di Indonesia.
Foto: Pxhere
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jaya Widura Imam Mustopo mengungkapkan, persoalan keterasingan dan kesepian tengah menjadi tren dalam kesehatan mental di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jaya Widura Imam Mustopo mengungkapkan, persoalan keterasingan dan kesepian tengah menjadi tren dalam kesehatan mental di Indonesia. Menurut dia, masalah keterasingan dan kesepian itu terjadi di semua golongan usia, di mana jumlah kasus pada remaja menjadi yang paling besar.

“Kalau dari hasil dari hasil analisis kita kan biasanya kan depresi atau anxiety yang membuat mereka begitu (melakukan bunuh diri). Terus kemudian ya keterasingan yang sekarang lagi tren, lagi dalam survei ini masalah loneliness, masalah kesepian ternyata,” ucap Widura di sela ‘Semiloka Darurat Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia’ di Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Widura mengatakan, pihaknya melihat adanya gejala lonjakan kasus kesehatan mental pada anak berdasarkan survei yang dilakukan pada September 2023 lalu. Menurut dia, data yang Himpsi dapatkan dari survei tersebut memperkuat gejala yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kementerian PPPA).

“Datanya itu kan tinggi banget. Dan itu sinkron dari hasil kita. Nah cuma memang yang kita sarankan memang kita sedang mencari bentuk nih. Kita mencoba prioritas-prioritas apa yang harus kita lakukan. Terus salah satunya kita mempromosikan yang mental health first aid,” jelas dia.

Dia menerangkan lebih lanjut mengenai mental health first aid tersebut. Dengan pertolongan pertama kesehatan mental, pihaknya akan memberi pemahaman kepada masyarakat awam tentang cara menangani orang-orang dengan masalah kesehatan mental di lapangan. Dengan demikian, para penyintas dapat ditangani dengan baik.

Sementara itu, Wakil Ketua I Himpsi Tri Iswardani menerangkan, trauma masa kecil timbul bukan karena anak menjadi korban kekerasan saja. Tiadanya perhatian dari orang tua sehingga anak merasa tak mendapatkan perhatian dari anak juga dapat menjadi penyebab besar masalah kesehatan mental anak di masa depan.  

“Bila mana kebutuhan perkembangan anak yang diperlukan untuk dia tumbuh besar tidak diberikan. Jadi ada unmatched need. Misalnya kehadiran ibu pada saat dia lagi sedih baru ada masalah sama teman harusnya kan orang tuanya ada, emotionally present,” kata wanita yang biasa disapa Dani itu.

Sebab itu, kata dia, memberikan perhatian kepada anak menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan di dalam keluarga. Jangan sampai seorang anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya sehingga berupaya mencari-cari perhatian dengan cara yang buruk, yang kemudian bisa membuat orang tua kembali memarahinya.

“Jadi bukan selalu digebukin atau dibully. Bukan. Tetapi apa yang menjadi haknya tidak diberikan kepada anak itu sudah pengalaman buruk buat anak,” kata dia.

Keluarga dan sekolah mempunyai peran penting dalam membangun kesehatan mental anak-anak bangsa. Dengan langkah yang tepat, seorang anak akan menjelma menjadi manusia yang kuat secara mental dan fisik. Dengan daya lenting yang kuat, trauma dan stres yang ada di mana-mana dapat dilewati dengan baik.

“Jadi, sebenarnya juga yang sangat penting yang perlu dibangun itu mulai dari keluarga ya. Termasuk juga di sekolah. Bagaimana seseorang anak itu mempunyai daya lenting yang kuat,” kata Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK Nancy Dian Anggraeini.

Dia menyampaikan, dengan daya lenting yang kuat, seorang anak dapat menyikapi trauma dan stresnya dengan baik. Sebab itu, peran orang tua di dalam keluarga dan guru di sekolah amat diperlukan dalam membentuk mental anak. Menurut dia, hal itu masih menjadi persoalan saat ini dan pihak-pihak terkait perlu diberi pemahaman lebih lanjut.

“Itu yang mungkin perlu diajarkan. Nah, saat ini sebenarnya kalau setahu saya, beberapa tadi kan sudah ada beberapa program yang sudah mengajurkan untuk membangun self recilience itu. Cuma, implementasinya itu sepertinya masih belum. Kayanya guru-guru kita perlu dibantu untuk dilatih,” jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement