Kamis 07 Dec 2023 19:24 WIB

KPAI Pertanyakan Polisi Soal Laporan KDRT Terkait Kasus Tewasnya Empat Anak di Jagakarsa

KPAI juga menyoroti pemahaman polisi terkait penanganan anak di keluarga berkonflik.

Rep: Ronggo Astungkoro, Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Proses evakuasi empat jenazah anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan yang diduga meninggal karena dikunci di dalam kamar oleh ayahnya sendiri, Rabu (6/12/2023).
Foto: Republika/Alkhaledi Kurnialam
Proses evakuasi empat jenazah anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan yang diduga meninggal karena dikunci di dalam kamar oleh ayahnya sendiri, Rabu (6/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mempertanyakan respons kepolisian menyikapi laporan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti yang terjadi pada ibu dari empat anak yang ditemukan meninggal dunia di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (7/12/2023). KPAI juga menyoroti pemahaman polisi terkait perihal penanganan anak yang ada pada keluarga berkonflik.

"Disampaikan warga, ibu dari anak anak tersebut masuk rumah sakit akibat KDRT. Sejauh mana penanganannya? Apakah ada proses penahanan pelaku? Kalau tidak ditahan karena alasan apa?" ujar Wakil Ketua KPAI Jasra Putra kepada Republika, Kamis (7/12/2023).

Baca Juga

Jasra menerangkan, sebagaimana mandat Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, jika menemukan anak dalam keluarga berkonflik, maka anak tersebut masuk ke dalam kategori perlindungan khusus anak. Maka itu, perlu diketahui sejauh apa pemahaman masyarakat dan petugas dalam soal memastikan pentingnya anak untuk dihindarkan sementara dari konflik orang tuanya.

"Apakah masyarakat dan petugas mengerti mekanisme merujuk anak anak yang kehilangan pengasuhan orang tua berkonflik," jelas dia.

Menurut dia, kasus semacam itu semakin menunjukkan darurat RUU Pengasuhan Anak. Dia menilai, peraturan atau kebijakan yang komprehensif diperlukan sebagai upaya intervensi di dalam lingkup keluarga. Termasuk di dalamnya, ketika ada kekerasan, petugas dapat segera menindaklanjuti kondisi pengasuhan anak yang terancam.

Di samping itu, Jasra menilai, persoalan yang paling berat lagi dalam kasus semacam itu sebenarnya terkait ada dan tidaknya anggaran dalam kasus KDRT. Jika ada anggaran, tentu akan membawa sensitivitas, kepekaan, responsif dan inisiatif di lapangan dalam segera menyelamatkan anak dalam keluarga KDRT.

"Karena jika terbiasa tidak dianggarkan, maka petugas akan kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugasnya dalam satu kasus saja, misalnya," terang dia.

Sebenarnya, kata dia, di setiap kelurahan, RW, dan RT ada struktur tugas dan fungsi mereka untuk layanan masyarakat. Dan semuanya dibayar profesional dan program-programnya dianggarkan. Tetapi seringkali, dalam monitoring dan evaluasi KPAI, untuk anggaran soal anak masih belum maksimal, bahkan sangat tertinggal.

"Sehingga seringkali, tidak ada petugas yang merasa, ditugaskan, intervensi, seperti yang terjadi dengan profil keluarga yang tinggal di kontrakan ini," terang dia.

Padahal, jelas Jasra, di suatu daerah jumlah warga anak jumlahnya paling banyak. Artinya, pelayanan anak paling menentukan kinerja petugas. Bila disuatu daerah anak anak lebih dominan tidak tertangani baik, maka dipastikan layanan untuk warga yang jumlahnya paling banyak anak, tidak terdeteksi dengan baik.

"Jadi setidaknya dari 100 persen anggaran di daerah, harusnya 60 persen untuk anak. Karena ukuran kinerjanya pelayanan warga, di mana anak paling banyak," jelas dia.

 

photo
Bahaya prank pada anak. - (Republika/Ali Imron)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement