REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar otonomi daerah dan eks Dirjen Otda Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan, mengatakan, Rancangan Undang Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang telah diinisiasi dan disetujui DPR dapat mempreteli demokrasi di Jakarta. Dalam draf RUU tersebut, jabatan gubernur dan wakil gubernur Jakarta akan ditunjuk dan dilantik oleh presiden RI.
Padahal, kata dia, sejak sebelum reformasi sampai pascareformasi, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta sudah dengan mekanisme pemilihan langsung. Dia menyebut, jika gubernur ditunjuk langsung maka demokrasi sama saja mundur.
"RUU DKJ ini, tidak benarnya itu terkait gubernur dan wakil gubernurnya. Ujug-ujug ditinjuk dan diangkat presiden. Nah itu mundur demokrasi kita. Mempreteli demokrasi itu juga saya sebut sebagai bertentangan dengan konstitusi," kata Djohermansyah kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Dia khawatir, dengan penunjukkan oleh presiden, jabatan gubernur dan wakil gubernur Jakarta dapat diemban orang-orang yang tidak benar. Atau dapat dijadikan sebagai sarana politik dinasti presiden yang menjabat.
Selain itu, menurut Djohermansyah, penunjukkan gubernur dan wakil gubernur Jakarta juga akan mencederai hak konstitusi kurang lebih 10 juta warga Jakarta untuk memilih pemimpinnya. Dia menyebut, adanya undang-undang khusus yang mengatur Jakarta harusnya hanya untuk mengatur kewenangan dalam beberapa hal.
Di antaranya, kewenangan mendatangkan investasi, kewenangan tenaga kerja, kewenangan industri, perdagangan dan lain-lain yang berkaitan dengan pengembangan Jakarta sebagai kota pusat perekonomian. Tapi dengan adanya poin yang mengatur pengangkata gubernur dan wakil gubernur, lanjut Djohermansyah, justru membuat demokrasi berjalan mundur di Jakarta.
Djohermansyah pun berharap, pemerintah menolak RUU DKJ. Kalau pun tidak disetujui, sambung dia, ada baiknya pembahasan RUU itu ditunda sampai Pilpres 2024 selesai. "Biarlah pemerintahan yang baru yang memutuskan terkait Undang Undang Khusus Jakarta," ujar Djohermansyah.