Selasa 05 Dec 2023 15:22 WIB

PKS Tolak Penetapan RUU DKJ, Tetap Ingin Jakarta Jadi Ibu Kota Negara

Menurut Hermanto, DKI Jakarta masih layak menjadi ibu kota negara.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Erik Purnama Putra
Suasana gedung pencakar langit di Jakarta, Selasa (12/10/2021).
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Suasana gedung pencakar langit di Jakarta, Selasa (12/10/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menggelar rapat paripurna ke-10 masa Pprsidangan II tahun sidang 2023-2024. Salah satu agendanya adalah menetapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi RUU usul inisiatif DPR.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR menjadi satu-satunya yang menolak RUU DKJ. Mereka berpendapat, Jakarta masih dianggap layak sebagai ibu kota negara Indonesia.

Baca Juga

"Kami menyimpulkan bahwa DKI Jakarta masih layak menjadi ibu kota negara," ujar anggota Fraksi PKS DPR Hermanto dalam rapat paripurna di Jakarta, Selasa (5/12/2023).

Terdapat delapan poin penolakan dari Fraksi PKS terhadap penetapan RUU DKJ menjadi RUU usul inisiatif DPR.  Pertama, Fraksi PKS berpandangan bahwa penyusunan RUU DKJ tergesa-gesa dan terkesan ugal-ugalan. Padahal, peraturan terkait Jakarta yang tak lagi sebagai ibu kota negara seharusnya sudah ada sebelum Undang-Undang Nomor 3 tentang Ibu Kota Negara (IKN).

"Karena penerapan Undang-Undang Pemerintah Daerah pada Jakarta membutuhkan banyak penyesuaian dan membutuhkan masa transisi yang panjang," ujar Hermanto.

Kedua, Fraksi PKS mengacu Pasal 41 Ayat 2 UU IKN yang dijelaskan, undang-undang terkait Jakarta yang tak lagi menjadi ibu kota negara harus selesai dua tahun setelah UU IKN diundangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka tak yakin RUU DKJ selesai dengan tetap mengedepankan keterbukaan pembahasannya.

Ketiga, rancangan pemindahan Jakarta menjadi pusat ekonomi ini akan berimplikasi terhadap Jakarta secara keruangan implikasi perubahan regulasinya. Keempat, RUU Daerah Khusus Jakarta belum melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna atau meaningful participation.

"Kelima, bahwa memaksakan pembahasan dalam waktu yang sangat sempit selain mempertaruhkan substansi peraturan, juga akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU Jakarta," ujar Hermanto.

Keenam, dalam Pasal 22 Ayat 1 draf RUU DKJ tidak disebutkan adanya lembaga adat dan kebudayaan Betawi. Khususnya dalam pemajuan kebudayaan, pelibatan badan usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan.

Ketujuh, usulan pemilu gubernur, wakil gubernur, bupati wali kota, dan wakil wali kota perlu dipertahankan untuk mewujudkan demokrasi secara lebih konsisten. Atau sebagai alternatif, dapat mengusulkan mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD jika yang ingin dikedepankan adalah pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan kestabilan politik.

"Delapan, bahwa belum terlihat aturan yang memperlihatkan memberikan kekhususan yang dapat mempertahankan bahkan meningkatkan posisi Jakarta sebagai pusat perekonomian Indonesia," ujar Hermanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement