REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo menghormati keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan teguran lisan secara kolektif kepada enam hakim konstitusi karena terbukti secara bersama-sama melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
"Ya, saya hormati keputusannya," ujar Ganjar di Kantor CSIS, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Ia juga yakin sanksi tersebut akan diuji untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus sebuah perkara disertai penilaian atas prosedur hukum acaranya.
"Saya hormati kan ada yang mengeksamen (sanksi teguran lisan)," jelasnya.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada enam hakim konstitusi karena terbukti secara bersama-sama melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
"Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Selasa.
Keenam hakim konstitusi tersebut adalah Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
Pihak pelapor adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani, dan advokat bernama Alamsyah Hanafiah.
"Para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," kata Jimly.
Lebih lanjut, Jimly menjelaskan Majelis Kehormatan menyimpulkan bahwa para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti tidak dapat menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup.
"Sehingga melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan," kata Jimly.
Selain itu, sambung dia, disimpulkan pula bahwa para hakim terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan antarhakim, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pekewuh.