Rabu 18 Oct 2023 07:40 WIB

Pengamat: Mundurnya Hakim Bisa Menyelamatkan Muruah MK

Putusan MK terkait syarat usia capres cawapres dinilai sarat kepentingan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Agus raharjo
Ketu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Dalam Sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Foto:

Lucius menyebut saat ini telah banyak suara yang muncul dari publik berupa kekecewaan pada MK yang dinilai melanggengkan praktek dinasti di Indonesia. Suara-suara itu perlu terus dimasifkan agar terus menyadarkan MK.

“Begitu banyak kritikan dan keresahan yang muncul, berharap bahwa ini akan terus terbangun konsolidasinya, misalnya mahasiswa berunjuk rasa, elemen masyarakat sipil juga menyampaikan pandangan, dan sebagainya, akhirnya ini menjadi gerakan publik atau gerakan massa. Ini harus menjadi suara publik,” ujar dia.

Menurut Lucius, publik mesti terus mengawal MK dengan kondisi yang memprihatinkan saat ini. Karena di samping itu pula tidak ada cara secara konstitusional untuk memprotes atau menggugat MK atas putusannya. “Saya kira sih tidak ada karena MK sudah seperti Tuhan,” tutupnya.

Sebelumnya diketahui, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai putusan MK ihwal batas usia capres-cawapres yang mengabulkan pengajuan permohonan pemohon Almas Tsaqibbirru Re A pada Senin (16/10/2023) sarat konflik kepentingan. Hal itu terlihat dari dinamika polemik pandangan para hakim konstitusi yang memutuskan perkara.

“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak mendapatkan suara bulat. Bahkan, putusan ini bisa menunjukkan betapa diametralnya posisi hakim. Lima orang hakim yang mengabulkan, dua diantaranya dengan alasan berbeda atau concurring opinion menunjukkan kuatnya dugaan konflik kepentingan di dalam perkara,” kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Selasa (17/10/2023).

Diketahui, lima orang hakim yang mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yakni Ketua MK Anwar Usman, hakim M Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, dan Daniel Yusmic, serta Enny Nurbaningsih. Daniel Yusmic dan Enny Nurbaningsih merupakan dua hakim konstitusi yang memberi catatan berbeda atau concurring opinion.

Daniel dan Enny setuju dengan putusan syarat kepala daerah menjadi capres-cawapres meski usia di bawah 40 tahun, tetapi hanya untuk kepala daerah tingkat provinsi. Artinya kedua hakim setuju jika gubernur maju dalam kontestasi pemilu capres-cawapres dan tidak setuju jika yang maju adalah kepala daerah tingkat kota/kabupaten alias wali kota atau bupati.

“Bahkan, putusan MK yang menunjukkan posisi hakim diametral ini sudah dibincangkan publik sepekan terakhir. Dari siapa bocoran putusan ini didapat? Ini menjadi soal serius yang mesti tidak boleh dilupakan begitu saja,” ujar dia.

Konflik kepentingan sudah tercium...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement