Rabu 18 Oct 2023 02:24 WIB

Soal Putusan Syarat Usia Capres-Cawapres, Ini Pendapat Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie

Jimly menuturkan hakim MK sudah melalui perdebatan sengit.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (kanan) bersama Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Sekjen MK di Jakarta, Sabtu (1/10/2022). Pertemuan para mantan Hakim dan Ketua MK yang berlangsung tertutup tersebut membahas keputusan DPR yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan digantikan dengan Sekjen MK Guntur Hamzah secara sepihak yang dinilai merusak demokrasi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (kanan) bersama Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Sekjen MK di Jakarta, Sabtu (1/10/2022). Pertemuan para mantan Hakim dan Ketua MK yang berlangsung tertutup tersebut membahas keputusan DPR yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan digantikan dengan Sekjen MK Guntur Hamzah secara sepihak yang dinilai merusak demokrasi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama, Jimly Asshiddiqie, menilai putusan MK terkait syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) harus tetap dihormati. Putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman ini membuka peluang bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres.

Jimly meminta masyarakat membedakan aturan dengan keputusan politik. Jimly menyampaikan putusan itu harus dijalankan demi menghargai MK sebagai lembaga. "Itu kan putusan MK, jadi kita harus hormati dan kita jalankan saja apa yang diputuskan," kata Jimly kepada wartawan, Selasa (17/10/2023).

Baca Juga

Jimly mengamati para hakim MK sudah menempuh proses yang semestinya hingga mencapai putusan. Putusan yang pro pencalonan Gibran ini pun diwarnai empat pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.

"Mereka (hakim MK) sudah melalui suatu perdebatan sengit. Artinya mereka masing-masing sembilan orang itu sudah dengan keyakinan, dengan keyakinan berdasarkan bukti-bukti yang mereka sudah kaji, sudah dapatkan dari para pihak. Jadi mereka berdebat habis-habisan itu, pasti marah-marah dan memang keadilan itu memang harus diperjuangkan, dipertarungkan, jadi enggak bisa hanya ikut-ikut saja," ujar Jimly.

Jimly berharap masyarakat menghargai putusan MK walau mengandung pil pahit. "Jadi bagaimana pun putusan yang sudah dibuat dengan perdebatan substantif harus dihormati dong," ujar Jimly.

Selain itu, Jimly mengimbau publik membedakan putusan MK yang sifatnya menegakkan hukum dan pencalonan Gibran yang merupakan keputusan politik. Menurutnya, dua hal itu mesti dipisahkan. "Ya kita pisahkan saja ini isu-isunya, putusan MK ini kan rule of the game, aturan main. Sedangkan keputusan siapa capres-cawapres itu kan keputusan politik, ini harus dibedakan," ujar Jimly.

Jimly menyebut Gibran belum tentu maju sebagai cawapres meski dimungkinkan lewat putusan MK. Sebab, penentuan langkah Gibran tetap didasarkan keputusan politik.

"Bisa saja aturan mainnya membolehkan yang belum 40 tahun tapi pengalaman. Ini kan aturan main, apa benar Gibran menjadi cawapres, benar atau enggak? itu kan soal lain. Siapa yang mastikan sekarang bahwa Gibran jadi cawapres? Kan belum ada keputusan. Makanya, ini dua hal yang harus dibedakan, bisa aja Gibran enggak jadi (cawapres) karena itu pertimbangannya kan pertimbangan politik," ujar Jimly.

Sebelumnya, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023). Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.

Ketika pertimbangan hukum hakim MK dibacakan, ditegaskan bahwa putusan tersebut berlaku pada Pilpres 2024. "Ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya," kata Hakim MK Guntur Hamzah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement