REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mahasiswa mesti memiliki kesadaran dan kecakapan politik. Sebagai kalangan well educate, mahasiswa harus memanfaatkan ruang partisipasi dalam setiap aktivitas politik, termasuk pemilu.
Koordinator BEM Solo Raya, Muhammad Hanif Prabowo, menjelaskan mahasiswa mengemban banyak predikat sebagai pemuda terpelajar.
“Literasi politik memungkinkan mahasiswa untuk mengambil ruang partisipasi tidak sekadar saat ada di TPS, tetapi juga dalam setiap proses politik,” terang Hanif dalam keterangannya, Selasa (3/10/2023).
Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Penguatan Literasi Politik Mahasiswa dan Mitigasi Sentimen SARA Menuju Pemilu 2024 Bermartabat’ pada Selasa (3/10/2023).
Apalagi, menurut dia, secara demografis Pemilu serentak 2024 didominasi pemilih muda. Tren pemilih muda ini tentu harus dibarengi dengan edukasi dan literasi mumpuni.
“Sehingga, segmen pemilih muda tidak hanya sebagai objek politik lima tahunan, tetapi juga aktor atau subjek politik,” kata dia.
Dijelaskan Hanif, bekal pengetahuan politik untuk mahasiswa mesti terus digalakkan hari ini. Caranya, dengan melakukan kegiatan edukatif mengenai pendidikan dan literasi politik, sosialisasi dan penguatan pengetahuan politik, dan pemanfaatan sejumlah instrumen digital.
Dia menyebutkan literasi politik ini khususnya untuk mencegah praktik politik atas dasar sentimen parsial SARA. Politik SARA selalu menawarkan narasi adu domba yang bersinggungan dengan suku, ras, dan agama. “Praktik dan narasi politik semacam ini yang mesti diberangus oleh mahasiswa,” terang Hanif.
Dia mengatakan, kampus harus lebih aksesebel memberikan penguatan pengetahuan politik terhadap mahasiswa.
“Apalagi, menjelang Pemilu Serentak 2024 besok, kampus dan mahasiswa lebih proaktif terutama untuk mencetak pemilih rasional-cerdas,” imbuh dia.
Aliansi BEM se Solo Raya, menurut Hanif, memiliki komitmen untuk memberikan literasi dan edukasi politik bagi mahasiswa se-Solo Raya.
Salah-satunya, dalam rangka untuk mengantisipasi dan menfilter praktik politik yang bersinggungan dengan isu SARA.
“Politik SARA tidak sekadar buruk dalam kosa-kata politik kita, tetapi praktik dan narasi SARA dalam Pemilu akan merusak keakraban dan harmonisasi warga negara. Ia akan memecah belah kerukunan publik. Itu yang kita tolak,” tegas Hanif.
Sementara itu, peneliti Indopublika Research and Consulting, Muchlas Samorano, menjelaskan, praktik elektoral menjelang Pemilu 2024 berpotensi mengulang kontestasi politik sebelum-sebelumnya. Sebagai konstituen, mahasiswa mesti hadir sebagai penyeimbang diskursus publik.
Dia mengatakan, kanalisasi politik etik harus dimulai dari kampus. Mahasiswa, dan terutama jajaran elit civitas akademik, mesti menguatkan partisipasi politiknya di hampir semua proses politik.
“Demi menolak praktik SARA yang secara konstitusi haram, mahasiswa sangat boleh melakukan literasi politik apa saja, dan itu digaransi oleh demokrasi,” kata Muchlas.
Baca juga: Temuan Peneliti Amerika Serikat dan NASA Ini Buktikan Kebenaran Alquran tentang Kaum Ad
Dia berpandangan, haram hukumnya bagi mahasiswa melihat politik dari preferensi dan panorama SARA. Jangan mau dibikin rabun pada record dan program kandidat, lalu diganti dengan solidaritas populis atas dasar ras dan agama. “Dalam kontestasi elektoral, kaidah-kaidah tersebut haram,” ujar dia.
Kegiatan yang bekerja sama dengan BEM Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Solo Raya di Gedung Utama Siti Walidah UMS berfokus pada pendidikan dan literasi politik mahasiswa.
Hadir pada kegiatan itu opening speech, Koordinator BEM Solo Raya, Muhammad Hanif Prabowo. Diskusi itu digelar interaktif menghadirkan tiga narasumber kompeten, di antaranya Ketua Bawaslu Kota Surakarta, Drs Budi Wahyono, pengamat hukum dan akademisi UMS Galang Taufani, S H, MH, dan periset Indopublika Reseach and Consulting, Muchlas Samorano, S Sos.