Kamis 28 Sep 2023 19:11 WIB

'Pencegahan Kekerasan di Sekolah Masih Sebatas Jargon'

Pemerintah diminta mengambil langkah tegas dan konkret mencegah kekerasan di sekolah.

Pelajar, pelaku perundungan dan penganiayaan siswa SMP di Cilacap ditangkap.
Foto: Twitter tangkapan layar
Pelajar, pelaku perundungan dan penganiayaan siswa SMP di Cilacap ditangkap.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah dalam beberapa waktu terakhir terus bermunculan dan semakin mengkhawatirkan. Pemerintah pun diminta mengambil langkah tegas dan konkret untuk mencegah terjadinya kasus-kasus baru.

“Kami merasa aturan dan regulasi yang ada untuk mencegah tindak kekerasan di sekolah terutama bullying masih sebatas kampanye dan jargon di atas kertas. Belum ada aksi nyata sehingga kasus kekerasan terus berulang dan ironisnya dianggap sebagai suatu pencapaian oleh pelaku. Termasuk kasus terakhir di SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Kamis (28/9/2023). 

Baca Juga

Dalam sebulan terakhir muncul beberapa kasus kekerasan di sekolah yang membuat orang mengelus dada. Di antaranya kasus guru mencukur rambut belasan siswi karena tak memakai jilbab sesuai aturan sekolah di Lamongan, hingga dicoloknya mata seorang anak SD di Gresik hingga buta oleh kakak kelasnya.

Beberapa hari lalu, muncul kasus meloncatnya siswi dari lantai empat gedung SD Pesanggrahan 06 Jakarta, yang sampai saat ini motifnya masih terus diselidiki. Dan terakhir, pemukulan bertubi-tubi seorang siswa SMP Negeri SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap oleh teman sekolah.

Huda menjelaskan, tren kekerasan di sekolah memang terus menunjukkan peningkatan. Data Rapor Pendidikan yang dirilis oleh Kemendikbudristek tahun ini menunjukkan jika terjadi penurunan iklim keamanan di sekolah.

“Di level sekolah menengah atas misalnya terjadi penurunan iklim keamanan dari 71,96 menjadi 66,87. Lalu di sekolah menengah pertama juga turun dari 68,25 menjadi 66,87,” ujarnya. 

Huda menilai, terus terjadinya kekerasan di sekolah dikarenakan regulasi maupun aksi pencegahan kekerasan di sekolah belum berjalan optimal. Dia mencontohkan, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) masih belum sepenuhnya dilaksanakan di lapangan.

“Masih banyak kepala sekolah dan guru belum paham subtansi PPKSP. Akibatnya mereka masih tergagap-gagap bagaimana mencegah fenomena kekerasan di sekolah. Kemendikbudristek perlu gelar pelatihan ketrampilan teknis bagi guru dan kepala sekolah agar PPKSP bisa diterapkan di lapangan,” katanya. 

Selain itu, lanjut Huda, program pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah (TPPKS) juga belum berjalan menyeluruh. Masih banyak sekolah yang belum membentuk TPPKS. “Di sini perlu ada kolaborasi lebih solid antara kepala daerah melalui dinas pendidikan dengan stakeholder lain sehingga seluruh sekolah terbentuk TPPKS,” katanya. 

Politisi PKB ini juga berharap agar Kemendikbudristek maupun pemerintah daerah sebagai penanggung jawab penyelenggara pendidikan mampu merumuskan pola stick and carrot dalam menekan angka kekerasan di sekolah. Menurutnya, perlu ada reward bagi penyelenggara sekolah yang berhasil menekan angka kekerasan di sekolah.

“Sebaliknya perlu ada punishment bagi mereka jika muncul kasus kekerasan di satuan pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Jika pola ini diterapkan kami yakin upaya menekan angka kekerasan di sekolah bisa berjalan optimal,” ujar Huda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement