Selasa 19 Sep 2023 17:19 WIB

Respons Kasus Rempang, KNPKI Dorong Pemerintah Terapkan Pembangunan Ramah Keluarga

Pembangunan semestinya memperhatikan hak keluarga, sebagai unit sosial terkecil.

Sejumlah lilin bertulisakn Save Rempang  dalam acara malam Solidaritas dan Doa Bersama Untuk Rempang di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (15/9/2023). Aksi ini diadakan untuk memberikan dukungan kepada warga Pulau Rempang terkait penolakan dalam proses pembangunan Rempang Eco City yang berujung bentrok dengan aparat keamanan.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah lilin bertulisakn Save Rempang dalam acara malam Solidaritas dan Doa Bersama Untuk Rempang di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (15/9/2023). Aksi ini diadakan untuk memberikan dukungan kepada warga Pulau Rempang terkait penolakan dalam proses pembangunan Rempang Eco City yang berujung bentrok dengan aparat keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Nasional Perlindungan Keluarga Indonesia (KNPKI) menyatakan keprihatinan atas bentrokan antara warga lokal dan aparat gabungan TNI, Polri, serta Ditpam Badan (BP) Batam yang pecah di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, pada Kamis (7/9/2023) lalu. Peristiwa itu terjadi seturut penolakan warga terkait rencana pembangunan Rempang Eco City.

KNPKI menilai, pemerintah pusat maupun Provinsi Kepulauan Riau semestinya memperhatikan pembangunan agar tidak mendatangkan kerentanan dan risiko bagi keluarga sebagai unit sosial terkecil masyarakat. Selama ini, banyaknya konflik lahan dan agraria dengan alasan investasi pembangunan justru menggusur hak hidup keluarga sehingga mendatangkan kenelangsaan kepada mereka.

Baca Juga

"Kami meminta Presiden beserta jajaran pemerintah di setiap tingkatan untuk merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan yang ramah keluarga," kata Prof Euis Sunarti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (19/9/2023).

Ketua Umum KNPKI itu meneruskan, pihak swasta dan investor semestinya memperhatikan hak keluarga, terutama keluarga yang rentan. Pihaknya pun mendukung lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi masyarakat yang terus mengadvokasi pembangunan ramah keluarga.

"DPR-RI agar mendengar dan menerima aspirasi, memperjuangkan kepentingan dan perlindungan keluarga Indonesia. Di antaranya dengan melakukan harmonisasi dan atau mengeluarkan UU yang tepat," ujar Euis.

Maladministrasi

Pada Senin (18/9/2023), Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam (Pemkot Batam) pada rencana relokasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang.

Hal tersebut disampaikan Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro di Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sulawesi Utara, kemarin. "Ombudsman telah melakukan permintaan keterangan secara langsung kepada pihak-pihak yang terdampak, serta pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan Kampung Tua dengan merujuk Surat Keputusan Walikota Batam Nomor 105/HK/III/2004 Tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam,” kata Johanes dalam keterangannya pada Senin (18/9/2023).

Menurutnya, terdapat 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Ombudsman memperoleh informasi BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektar. Lahan ini akan dikembangkan sebagai proyek Strategis Nasional 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata dengan nama Rempang Eco Park Pulau Rempang.

Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian tersebut, menurut Johanes hal ini tidak sesuai ketentuan. Karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.

"Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum,” ujar Johanes.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement