Rabu 23 Aug 2023 19:14 WIB

Merapatnya Golkar-PAN ke Prabowo Memantik Panasnya Suhu Politik

Pengamat sebut merapatnya Golkar-PAN ke Prabowo memantik panasnya suhu politik.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (dua kanan) menunjukan surat dukungan. Pengamat sebut merapatnya Golkar-PAN ke Prabowo memantik panasnya suhu politik.
Foto: Prayogi/Republika
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (dua kanan) menunjukan surat dukungan. Pengamat sebut merapatnya Golkar-PAN ke Prabowo memantik panasnya suhu politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu politik menjelang Pilpres 2024 seketika memanas satu pekan terakhir. Terutama, sejak Partai Golkar dan PAN menyatakan dukungannya ke capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Pengamat politik, Yusfitriadi mengatakan, itu bisa dilihat dari beberapa faktor. Pertama, sikap saling menegasikan seperti dalam food estate yang dicanangkan Presiden Jokowi dan diimplementasi Kementerian Pertahanan.

Baca Juga

Ternyata, program itu dikritik keras Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang menyebutnya dengan diksi kejahatan lingkungan. Padahal, ketika program food estate diprogramkan oleh Jokowi, PDIP tidak mempermasalahkannya.

Begitupun dengan tempat deklarasi dukungan Partai Golkar dan PAN ke Prabowo, yaitu Museum Proklamasi, dipermasalahkan oleh PDIP, dengan berbagai argumentasi. Antara lain museum tersebut milik negara.

Namun, saat PDIP mengukuhkan Ganjar di Istana Batu Tulis, tidak ada yang permasalahkan sekalipun milik negara. Kondisi ini jadi pemandangan tidak sehat karena seharusnya persaingan gagasan yang dihadapkan ke publik.

"Bukan saling menegasikan dengan sesuatu yang tidak substansial," kata Yus kepada Republika, Rabu (23/8/2023).

Lalu, kolisi seakan tersandera cawapres. Pertemuan Cak Imin dan Ganjar Pranowo seakan memperlihatkan masuknya PAN dan Golkar sebagai ancaman untuknya menjadi calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo.

Sehingga, mencari gerbong alternatif yang memungkinkan mengambilnya jadi cawapres, dan Ganjar yang paling memungkinkan. Hal itupun menuai reaksi dari elit-elit Partai Gerindra, termasuk Sekjen Partai Gerindra.

Begitupun indikasi goyangnya PPP yang diprediksi sudah pasti berkoalisi dengan PDIP. Namun, salah seorang pimpinan DPP PPP menyatakan PPP bisa hengkang dari PDIP jika Sandi Uno tidak diambil sebagai cawapres Ganjar.

Kemudian, semua berebut dampak elektoral dari Presiden Jokowi. Praktis, cuma Anies Baswedan yang tidak menyebut-nyebut Gibran berpeluang menjadi cawapres, sedangkan Ganjar dan Prabowo tetap buka peluang bagi Gibran.

"Kondisi ini memancing spekulasi berbagai macam opini, termasuk berlomba mencari berkah suara dari Jokowi dengan memberi peluang Gibran menjadi cawapres," ujar Yus.

Founder Visi Nusantara Maju itu melihat pula Airlangga Hartarto yang dipersoalkan. Dilakukan Koordinator Tim Pemrakarsa Kebangkitan Golkar, Lawrence Siburian, yang membawa kasus Airlangga ke Mahkamah Kehormatan.

Kondisi ini memancing spekulasi apakah ada intervensi dan campur tangan dalam kondisi ini. Terakhir, naiknya elektabilitas Prabowo dari beberapa lembaga survei, bahkan ketika disandingkan dengan siapapun cawapresnya.

Yus menambahkan, tentu saja ini membuat PDIP dan Ganjar mulai berhitung. Terlebih, yang membuat kondisi panas disebut-sebut semua ini diakibatkan efek Presiden Jokowi, yang beberapa bulan terakhir dianggap King Maker.

"Beberapa bulan terakhir ini Jokowi dianggap King Maker dalam memainkan percaturan politik dalam konteks capres dan cawapres," kata Yus.

Ia berharap, sepanas-panasnya suhu politik, para elit dan aktor politik bisa mendewasakan, menyehatkan dan tidak saling menjatuhkan. Terlebih, jangan sampai orientasi kekuasaan yang dominan dalam kontestasi ini.

"Namun, rakyat yang dikorbankan dalam perspektif apapun," ujar Yus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement