Senin 21 Aug 2023 15:27 WIB

Memerdekakan Guru Honorer

HUT kr-78 RI belum menjadikan guru honorer ini “merdeka” seutuhnya.

Ilustrasi guru honorer. HUT ke-78 RI belum menjadikan guru honorer ini “merdeka” seutuhnya.
Ilustrasi guru honorer. HUT ke-78 RI belum menjadikan guru honorer ini “merdeka” seutuhnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny Kodrat, Pemerhati Pendidikan Universitas Sebelas April

Miris saat salah satu media online mengangkat berita guru PPPK di Jakarta yang dilantik tanpa SK, mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya dan tidak terpenuhi jam minimalnya. Pengadaan guru PPPK ini merupakan tindak lanjut pemerintah dalam menghapus guru honorer. Prof Cecep Darmawan (pemerhati kebijakan pendidikan UPI) sebelumnya mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan dan memperlakukan guru honorer ini secara adil dalam seleksi PPPK.

Sayangnya, momentum hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 belum menjadikan guru honorer ini “merdeka” seutuhnya. Karut marut tata kelola dalam pengadaan dan penempatan PPPK belum dapat terurai. Guru kembali termarjinalkan.

Menyelesaikan guru honorer hanya dengan kebijakan pengangkatan guru PPPK seperti menyederhanakan kompleksitas masalah. Padahal guru honorer merupakan salah satu elemen yang menjadi masalah dalam sistem pendidikan, terkait dengan elemen lainnya. Penyediaan guru PPPK harus mempertimbangkan ketersediaan jam mengajar yang termuat dalam kurikulum, harus sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan sebagaimana standar guru.  

Menelisik Kompleksitas Masalah

Guru merupakan profesi unik. Semakin lama ia mengajar dan mendidik, semakin terasah kemampuan pedagogik dan profesionalnya, terlebih bila pemerintah dan sekolah menyediakan support system yang memadai. Tentu saja, pengoptimalan guru ini perlu ditopang oleh tata kelola yang handal, cepat dan efektif, berdasarkan realitas di lapangan.

Masalah yang mengemuka dalam peristiwa guru PPPK di Jakarta menunjukkan ada permasalahan dalam tata kelola birokraksi. Pertama, data yang tersedia di Data Pokok Pendidik (Dapodik) yang diperbaharui secara berkala dan menjadi dasar pemetaan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan (DSO), nampaknya tidak selaras dengan kebijakan pembukaan formasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Kedua, jumlah guru honorer yang belum diangkat menjadi guru PPPK dari berbagai macam pelajaran ini terdampak oleh kebijakan transformasi pendidikan. Kurikulum Merdeka di tingkat SMA mengurangi alokasi waktu beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Asing, Seni, Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU). Bahkan lebih jauh, banyaknya guru honerer dari berbagai mata pelajaran ini “menyandera” keinginan masyarakat dan pemerhati pendidikan untuk mengurangi mata pelajaran di tingkat SMP dan SMA dan sederajat.

Ketiga, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak sepenuhnya kompatibel dengan kondisi di daerah. Munculnya kebijakan terobosan seperti relokasi guru PPPK yang pindah disebabkan sekolah tujuan masih surplus guru bisa jadi diinisiasi pemerintah daerah untuk mengurai penumpukan guru PPPK di sekolah-sekolah tertentu.

Keempat, guru PPPK menjadi pilihan bagi guru honorer disebabkan pemerintah tidak mampu memaksa sekolah swasta memberikan kepastian karir dan kesejahteraan yang memadai. Hanya beberapa sekolah swasta saja yang memberikan gaji sama dengan PPPK. Bahkan tidak sedikit, di periode awal, guru-guru swasta hijrah menjadi guru PPPK.

Menelisik kompleksitas masalah guru, pemerintah tidak dapat hanya mengeluarkan satu kebijakan biasa yang bertumpu pada hulu, namun tidak ramah dalam fleksibilitas penerapan di hilir. Di tambah lagi, kebijakan tersebut berat muatan politiknya dibandingkan apakah ia dapat—secara kajian mendalam—menyelesaikan persoalan guru honorer secara tuntas dan efektif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement