Senin 21 Aug 2023 15:27 WIB

Memerdekakan Guru Honorer

HUT kr-78 RI belum menjadikan guru honorer ini “merdeka” seutuhnya.

Ilustrasi guru honorer. HUT ke-78 RI belum menjadikan guru honorer ini “merdeka” seutuhnya.

Memerdekakan Guru Honorer

Guru honorer harus memerdekakan diri dari mental terjajah. Salah satu mental terjajah adalah meyakini bahwa guru PPPK adalah satu-satunya cara untuk hidup sejahtera. Padahal, peningkatan kompetensi dan kinerja itulah yang menjamin kehidupan seorang guru menjadi layak.

Mindset terjajah ini dapat membuka celah curang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tiket lolos guru PPPK. Guru saat ini menjadi profesi terbuka. Siapapun dapat menjadi guru terlebih ia  mengikuti dan lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG). Kuncinya, guru harus tangguh (resilience), tidak kenal menyerah dan terus mengembangkan diri.

Pengembangan diri menjadi sangat penting. Guru merupakan sosok yang penuh ilmu, dapat menyampaikan kompetensinya dengan penuh hikmah dan kearifan, sehingga siswa yang ia didik dapat menerima bukan saja aspek kognisi, namun juga sikap dan budi pekerti. Selain itu, guru harus kaya karya yang menjadi bukti otentik (portofolio) jejak kompetensinya.

Jika semua guru memiliki keunggulan dan banyak karya, ia dapat memperluas jangkauan kesempatan kerjanya tidak hanya di Indonesia namun dunia. Dengan kata lain, keterampilan hidup di abad 21 pun harus dikuasai oleh guru seperti literasi digital, kemampuan berbahasa asing, berpikir kritis, berkomunikasi, kreativitas dan inovasi, kemampuan beradaptasi.

Memerdekakan guru honorer tidak dapat dilakukan hanya guru sendiri. Ia harus melibatkan semua pihak seperti pemerintah, badan penyelenggara pendidikan (yayasan), dan perguruan tinggi.

Idealnya, pemerintah seharusnya menjadikan guru  sebagai pegawai negeri tanpa terkecuali. Karena hanya sebagai pegawai negeri saja kehidupan guru dipandang layak. Namun, kita tahu kemampuan APBN sangat terbatas.

Pemerintah dapat mendorong sekolah swasta untuk mereformasi tata kelola sumber daya guru sehingga ia mendapatkan jaminan karir dan pengembangan diri secara patut. Regulasi yang diterbitkan pemerintah mengenai standar nasional pendidikan perlu dipastikan diterapkan oleh sekolah swasta. Termasuk dalam hal kelayakan gaji guru-gurunya.

Pemerintah seharusnya merencanakan pembangunan unit sekolah baru yang disesuaikan dengan jumlah penduduknya. Dengan adanya unit sekolah baru, banyak guru dari fresh graduate yang dapat direkrut.

Selain itu, pemerintah dapat mendorong distribusi guru secara lebih merata khususnya di daerah 3T (Terpencil, Terluar dan Tertinggal). Sehingga guru-guru honorer tidak terkonsentrasi di pusat Pulau Jawa namun tersebar dan mendapatkan jaminan baik oleh pemerintah pusat juga pemerintah daerah.

Mungkin suatu saat harus ada pejabat publik yang dengan lantang berani mengatakan pengangkatan guru PPPK hanya akan dibuka saat kebutuhan tersedia dan wajib memenuhi kualifikasi tertentu. Barangkali menjadi kebijakan yang tidak populis namun realistis dalam moratorium jumlah guru honorer. Selama pejabat publik masih tersandera oleh kebijakan populis, tahun politik, tidak melihat masalah ini secara holistik dari hulu ke hilir, masalah guru honorer ini sulit selesai meski pergantian rezim. Wallahu’a'lam bishawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement