REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari angkat bicara terkait langkah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengadukan dirinya dan enam komisioner KPU lainnya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bawaslu membuat aduan karena tidak mendapatkan akses memadai dari KPU untuk melihat dokumen persyaratan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024.
Hasyim mengatakan, posisi KPU memang selalu menjadi "Ter" dalam sejumlah proses peradilan pemilu. KPU bisa menjadi terlapor di Bawaslu dalam perkara pelanggaran administrasi pemilu. Bisa juga menjadi termohon di Bawaslu atas sengketa proses pemilu.
KPU, lanjut dia, bisa juga menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas perkara sengketa proses pemilu. KPU juga berpotensi menjadi termohon di Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara sengketa hasil pemilu. Terakhir, anggota KPU bisa menjadi teradu di DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
"Dengan begitu, KPU selalu siap dalam segala kondisi dan posisi apa pun khususnya ketika berhadapan dengan lembaga lain dalam suatu proses peradilan," kata Hasyim kepada wartawan, Selasa (8/8/2023).
Sementara itu, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, pihaknya lewat surat tanggal 18 Juli 2023 telah menyampaikan kepada Bawaslu bahwa KPU akan membuka akses dokumen apabila pengawas pemilu memiliki informasi awal terkait dugaan pelanggaran dokumen persyaratan bakal caleg. Pelayanan seperti itu akan diberikan selama 24 jam penuh.
"KPU akan membuka data dan dokumen pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota apabila Bawaslu menyampaikan nama masing-masing bakal calon yang diduga terjadi pelanggaran pemilu," kata Idham kepada wartawan.
Persoalan akses ini mencuat usai KPU menerima berkas pendaftaran bakal caleg dari partai politik pada 1-14 Mei. Ketika KPU melakukan verifikasi administrasi terhadap dokumen tersebut, Bawaslu RI mengaku tidak diberikan akses untuk melihat berkas-berkas itu di kanal Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU. Petugas Bawaslu hanya diperbolehkan melihat dokumen para kandidat itu dengan cara mendatangi langsung ruangan petugas verifikator KPU.
Masalahnya lagi, petugas Bawaslu hanya diperbolehkan melihat dokumen persyaratan bakal caleg di aplikasi Silon di komputer verifikator selama 15 menit saja. Petugas Bawaslu juga tidak boleh memotret dokumen puluhan ribu dokumen itu. Alhasil, Bawaslu kesulitan mengawasi proses verifikasi, termasuk pengawasan terhadap keaslian ijazah para bakal caleg.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, kebijakan KPU memberikan akses hanya ketika Bawaslu punya temuan dugaan pelanggaran itu janggal. Sebab, bagaimana mungkin Bawaslu menemukan dugaan pelanggaran ketika Bawaslu tidak bisa melihat dokumen persyaratan bakal caleg. "Enggak ada temuan awal kalau Silon tidak dibuka," kata Bagja.
Bawaslu diketahui sudah empat kali melayangkan surat protes kepada KPU atas perkara pembatasan akses dokumen bakal caleg. KPU membalas surat keempat sebagaimana yang disampaikan Idham Holik di atas.
Lantaran aksesnya masih dibatasi setelah tiga bulan tahapan pendaftaran bakal caleg berlangsung, Bawaslu RI akhirnya pada Senin (7/8/2023) mengadukan semua komisioner KPU ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik. "Semua (7 komisioner KPU) diadukan," kata anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi ketika dikonfirmasi wartawan, Selasa (8/8/2023).
Raka belum bisa menjelaskan dugaan pelanggaran atas pasal apa yang diadukan Bawaslu RI. Dia hanya mengatakan bahwa aduan tersebut sedang diproses berdasarkan Peraturan DKPP tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
"Pada intinya akan ada verifikasi administrasi terlebih dahulu. Kemudian, jika telah memenuhi syarat administrasi, baru dilanjutkan dengan verifikasi materiil," kata Raka.