Selasa 08 Aug 2023 12:17 WIB

Mahfud MD Sebut Kasus Korupsi Marak Setiap Jelang Pemilu

Menko Polhukam berharap, mudah-mudahan kasus korupsi menurun tahun 2023 dan 2024.

Rep: Febryan A/ Red: Erik Purnama Putra
Menko Polhukam Mahfud MD.
Foto: Republika/Prayogi.
Menko Polhukam Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyebut kasus korupsi marak terjadi jelang gelaran pemilu maupun pilkada. Hal itu disampaikan Mahfud ketika menjelaskan soal maraknya peserta pemilu melakukan politik uang alias praktik jual beli suara pemilih.

"Hasil penelitian KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diumumkan beberapa waktu lalu bahwa peningkatan volume terjadinya korupsi itu selalu sejalan dengan pelaksanaan pemilu dan pilkada," kata Mahfud dalam pidatonya ketika membuka acara 'Forum Diskusi Sentra Gakumdu-Wujudkan Pemilu Bersih' di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Mahfud menjelaskan, berdasarkan penelitian KPK tersebut, kasus korupsi marak terjadi jelang Pemilu 2004, yakni pada 2003 dan 2004. Kemudian kasus pencurian uang rakyat itu kembali marak terjadi pada 2008 dan 2009 alias jelang Pemilu 2009.

Pola serupa kembali terjadi pada 2013 dan 2014 yang merupakan tahun-tahun jelang Pemilu 2014. "Mudah-mudahan ini menurun tahun 2023 dan 2024 (jelang Pemilu 2024)," kata Mahfud.

Eks ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menambahkan, pola serupa juga tampak ketika menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Saat pilkada belum dilaksanakan secara serentak, kasus korupsi selalu terjadi di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada.

"Berarti pemilu ini selalu diiringi dengan terjadinya upaya melakukan korupsi atas keuangan negara. Di situ lah penangkapan-penangkapan banyak terjadi menjelang pemilu," kata Mahfud menegaskan.

Dalam kesempatan itu, Mahfud menjelaskan pula bahwa politik uang merupakan salah satu penyakit pemilu. Praktik jual beli suara pemilih itu terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya dalam berbagai bentuk.

Ada yang dalam bentuk 'eceran', yakni ketika kandidat memberikan uang kepada pemilih jelang waktu pencoblosan. Praktik ini kerap disebut serangan fajar. Ada pula yang dalam bentuk 'borongan', yakni membeli suara sejumlah pemilih kepada pejabat desa dan bahkan kepada petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Banyak loh di KPU meskipun sudah independen, karena KPU bukan hanya Jakarta. Itu ada sampai di daerah bahkan sampai ke tingkat TPS itu sebenarnya orangnya KPU semua," kata mantan menteri pertahanan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement