REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos memandang penempatan TNI pada jabatan sipil merupakan konsekuensi dari struktur warisan TNI masa orde baru. Kondisi itu terjadi saat jumlah anggota TNI yang menjadi perwira tinggi (pati) cukup besar, tapi 'kehabisan posisi' di lingkungan TNI.
Pernyataan Tigor merespons kisruh operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka. Kasus itu membuat penempatan TNI aktif di lembaga sipil kembali dipertanyakan.
"Pada masa orde baru, jumlah pati TNI yang menduduki jabatan sipil besar karena waktu itu berapa banyak yang menjadi kepala daerah, menteri, pejabat di kementerian, duta besar, dan belum lagi anggota DPR," kata Tigor kepada Republika, Senin (31/7/2023).
Tigor mengamati struktur itu kini sudah diperkecil. Tetapi masih saja ada Pati TNI yang 'menganggur' di Mabes TNI. "Karenanya sejumlah Pati kemudian ditempatkan di jabatan sipil," ujar Tigor.
Hal ini diperparah adanya keperluan politik untuk menjaga loyalitas dan meminimalisir konflik internal di TNI menurut Tigor.
"Ini repotnya, selalu ada godaan dan upaya pemerintah sipil untuk menarik dukungan militer dengan alasan apapun. Akibatnya profesionalitas dan netralitas militer menjadi terancam," tegas Tigor.
Tigor menerangkan UU TNI memang memungkinkan ada sejumlah jabatan sipil yang bisa ditempatkan perwira TNI aktif sesuai kompetensi, misalnya Basarnas. Posisi ini dimungkinkan diisi pati TNI karena kualifikasi.
"Problemnya di Basarnas, ini adalah jabatan sipil dan kejahatannya yang dilakukan adalah tindak pidana umum atau sipil. Karena itu seharusnya dilakukan pada ruang lingkup pidana sipil bukan pidana militer," ucap Tigor.
Tigor mengingatkan dalam sebuah negara demokrasi harus ada pemisahan terukur antara jabatan sipil dan militer. Tigor mendorong penguatan supremasi sipil guna mewujudkannya.
"Indonesia justru perlu mereduksi jumlah perwira TNI aktif yang menduduki jabatan sipil, kecuali dia sudah non aktif dan memperoleh jabatan itu karena kompeten dan kualifikasi," ujar Tigor.
Diketahui, Puspom TNI menetapkan Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap proyek Basarnas.
"Puspom TNI meningkatkan tahap kasus ini ke penyidikan dan menetapkan personel TNI aktif atas nama HA dan ABC sebagai tersangka," kata Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko dalam konferensi pers di Mabes TNI pada Senin (31/7/2023).
Henri dan Afri diyakini melanggar Pasal 12 a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.