REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Mary Liziawati menyebut kasus stunting di Kota Depok, Jawa Barat, kebanyakan terjadi pada anak-anak yang bukan berasal dari keluarga miskin. Justru persentase bayi atau balita dengan stunting yang berasal dari keluarga miskin hanya sebanyak 21 persen.
"Kita juga menganalisa dari 3.576 balita (data terakhir stunting di Depok) ini ternyata kalau kita cek dari latar belakang keluarga, itu yang masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) hanya 21 persen. Jadi 79 persennya bukan," jelas Mary Liziawati, Sabtu (29/7/2023).
Menurutnya, DTKS memang bukan menjadi patokan utama untuk menilai kemiskinan sebuah keluarga. "Kita sering diingatkan bahwa DTKS ini bukan data kemiskinan, tapi kan memang sampai saat ini DTKS ini masih menjadi data untuk penerima bantuan sosial," katanya.
Melalui data ini, kata Mary, menjelaskan bahwa masalah ekonomi bukan menjadi faktor utama terjadinya kasus stunting. Terjadinya stunting disebutnya disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pola asuh yang salah atau memang karena gangguan kesehatan pada ibu atau anak.
Fakta lain yang terungkap adalah soal sebaran kasus stunting di Depok yang tidak hanya terjadi di daerah yang jauh dari pusat kota. Stunting di Depok juga terjadi di wilayah perkotaan yang mayoritas disebabkan oleh pola asuh yang salah.
"Kadang memang tidak terkait dengan faktor ekonomi. Sehingga secara ekonomi mampu, tapi pola pemberian makannya itu mungkin praktis-praktis saja maunya. Dia (orang tua) menyediakan yang mudah yang sebenarnya nilai gizinya kurang bagus," ujarnya.