Jumat 28 Jul 2023 15:09 WIB

Komnas Perempuan: SEMA Nikah Beda Agama Ingkari Konstitusi

SEMA Nomor 2 Tahun 2023 melarang pengadilan mengesahkan perkawinan beda agama.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti (ketiga kanan).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti (ketiga kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan menyatakan keprihatinan atas diterbitkannya aturan internal di lingkungan lembaga peradilan menyangkut pernikahan beda agama. Komnas Perempuan bahkan menganggap aturan itu mengingkari konstitusi.

Aturan yang dimaksud ialah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

Baca Juga

"Komnas Perempuan meminta kepada MA untuk segera mencabut SEMA Nomor 2 Tahun 2023," kata Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti dalam keterangannya pada Jumat (28/7/2023).

Dewi menambahkan, Komnas Perempuan menganggap SEMA itu tergolong kebijakan diskriminatif. Ia beralasan Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki keragaman suku bangsa, budaya, tradisi, termasuk agama, yang dilambangkan melalui Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

"Dalam keragaman tersebut, pembaruan dan interaksi antara warga satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terjalin, termasuk hubungan yang berakhir dengan suatu perkawinan terjadi secara faktual," ujar Dewi.

Komnas Perempuan menyebut MA berkewajiban memajukan HAM sesuai Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945. Komnas Perempuan mengingatkan dasar pertimbangan pembentukan MA yaitu menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum sesuai UU Nomor 3 Tahun 2009 jo UU No.5 2004 jo UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang MA.

Komnas Perempuan juga meyakini pengakuan perkawinan warga negara yang berbeda agama mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU Nomor 23 tahun 2006 jo UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

"SEMA ini merupakan bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara pada pelaksanaan kewajiban konstitusional dan hak hukum warga negara, serta bentuk diskriminasi lembaga negara dalam bidang perkawinan," ucap Dewi.

Selain itu, Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahei menegaskan pengaturan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan umat beragama jadi pengingkaran pada asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Hal ini padahal diatur pada pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Antara lain prinsip tidak membeda-bedakan, mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," ucap Imam.

Diketahui, pengadilan kini tidak bisa mengesahkan perkawinan beda agama. Ini tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Dalam SEMA yang diterbitkan pada 17 Juli 2023 ini, tertulis bahwa SEMA tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, para hakim harus berpedoman pada ketentuan dalam SEMA itu.

Pedoman pertama yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pedoman kedua, yakni pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. SEMA tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Syarifuddin.

Dalam catatan Republika, SEMA2/2023 sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan tidak menerima gugatan pernikahan beda agama. Dengan putusan itu, MK selaku lembaga yang diberi mandat menguji konstitusi menetapkan pernikahan beda agama tak sejalan dengan konstitusi.

Sebelumnya, ada pengadilan yang mengabulkan nikah beda agama. Contohnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membuat keputusan yang berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama yang diminta oleh pemohon JEA yang beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement