Jumat 28 Jul 2023 11:04 WIB

Inilah Temuan Penelitian Tentang DII/TII Paling Mutakhir (Bagian 1)

Para anggota DII/TII tetap menganggap dirinya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia.

Panglima Besar Jenderal Soedirman melantik Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang di Yogyakarta. Panglima Sudirman yang menyuruh Kartosuwiryo berjuang di Jawa Barat.
Foto: Al Chaidar
Panglima Besar Jenderal Soedirman melantik Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang di Yogyakarta. Panglima Sudirman yang menyuruh Kartosuwiryo berjuang di Jawa Barat.

Oleh: DR Ali Chaidar, Pakar Antropologi dan Pakar Terorisme. 

Bila dilihat dari teori agensi kuasa (agency of power) dari Sherry Ortner (2006), orang-orang Darul Islam tidak hanya menolak tuduhan bahwa mereka melakukan pemberontakan terhadap Negara Republik Indonesia pada tahun 1949, tetapi juga berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah agen sejarah yang aktif dan berdaya. Mereka berargumen bahwa mereka telah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Republik dengan melawan penjajahan Belanda di Jawa Barat, ketika wilayah tersebut mengalami kekosongan kekuasaan (vacuum of power) akibat perjanjian Renville.

Dengan demikian, mereka menantang pandangan negara yang cenderung dominan dan mengabaikan peran mereka dalam sejarah nasional. Mereka juga mengeklaim bahwa mereka memiliki hak untuk menentukan bentuk negara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang merupakan salah satu nilai universal yang membentuk agensi mereka (Ortner, 2006: 131-132).

Baca Juga

Dinamika gerakan Darul Islam di Indonesia, dari perspektif historis dan etnografis, merupakan salah satu bentuk millenarianisme Islam, yang berakar pada sejarah perjuangan melawan kolonialisme dan penjajahan. Para pendirinya adalah tokoh-tokoh nasionalis Islam yang berasal dari organisasi-organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, dan Masjoemi (Madjelis Sjuro Moeslimin Indonesia). Mereka memiliki idealisme tinggi untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan berdasarkan syariat Islam.

Namun, gerakan ini juga menghadapi berbagai tantangan dan risiko politik, sosial, dan ekonomi yang membuatnya terpinggirkan dan terdiskriminasi. Setelah kekalahan militer pada tahun 1962, gerakan ini mengalami perubahan signifikan dalam strategi, jaringan, dan wilayah operasinya. Gerakan ini tidak lagi terbatas pada daerah-daerah tradisional, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Gerakan ini juga menyebar ke daerah-daerah baru yang sebelumnya tidak dikenal sebagai basis pergerakan Darul Islam, seperti Madura, Sumbawa, Flores, Tual, Menado, Labuhan Batu, Bukittinggi, Jambi, Riau, Palembang, dan Ternate.

Gerakan Darul Islam masih eksis hingga saat ini dengan berbagai adaptasi dan transformasi. Gerakan ini masih mempertahankan idealisme lama dengan menjadikan medan perang sebagai 'play ground' yang penuh risiko. Namun, gerakan ini juga membutuhkan audiens yang dapat mengakui kedaulatannya sebagai salah satu bentuk ekspresi politik Islam di Indonesia.

Pada awalnya, gerakan DI melihat dirinya sebagai gerakan nasionalis dan memperjuangkan terciptanya negara Islam di Indonesia dengan cara damai. Namun, setelah Pemerintah Indonesia mulai tidak sejalan dengan perjuangannya, menindak tegas gerakan ini. DI mulai menggunakan taktik kekerasan untuk mencapai tujuannya. Hal ini terutama terjadi setelah masa kepemimpinan Kartosoewirjo yang lebih radikal dan mengajarkan doktrin yang lebih ekstrem. Pasca-1962, ada beberapa kelompok dalam DI yang menolak penggunaan kekerasan dan terorisme sebagai taktik dalam perjuangan mereka.

Mereka memandang gerakan DI secara historis dan berpendapat bahwa gerakan ini lebih merupakan gerakan pembebasan daripada teroris. Kelompok ini menyatakan bahwa DI adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan umat Islam di Indonesia, dan bahwa mereka hanya mempertahankan hak-hak mereka melalui cara yang mereka anggap cocok. Beberapa justifikasi lain yang dilakukan oleh DI dalam menolak keterlibatan mereka dalam terorisme adalah penggambaran diri sebagai kelompok, yang menentang kekuasaan asing dan menolak sistem politik Indonesia yang dianggap tidak adil dan sekuler.

Selain itu, DI juga memperlihatkan pandangan bahwa mereka sedang memperjuangkan kemerdekaan politik dan kebebasan beragama, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh umat Islam di Indonesia. Secara keseluruhan, pandangan historisisme Darul Islam menunjukkan bahwa gerakan ini melihat dirinya sebagai bagian dari perjuangan panjang umat Islam di Indonesia dan bahwa mereka hanya menggunakan kekerasan dan terorisme sebagai taktik terakhir.

Meskipun demikian, tindakan kekerasan dan terorisme tetap dilakukan oleh sebagian kelompok dalam gerakan ini. Darul Islam (DI) menolak keterlibatan mereka dengan pasukan Westerling dan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pada masa perjuangan mereka. Sebagai gerakan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, DI memiliki tujuan yang sama dengan pemerintah Indonesia pada saat itu, yaitu memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Baca tulisan di halaman berikutnya...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement