Kamis 27 Jul 2023 04:27 WIB

Kartosoewirjo, Darul Islam Indonesia: Sebuah Etnografi Milenarianisme (Tulisan Bagian I)

Apa sih Darul Islam dan siapa sih Kartosuwirjo dalam sejarah Indonesia?

Kartosuwiryo saat makan terakhir sebelum dieksekusi.
Foto: dok. Fadli Zon Library
Kartosuwiryo saat makan terakhir sebelum dieksekusi.

 

Oleh: DR Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Pakar Antropologi dan Pengamat Terorisme

Baca Juga

Penelitian yang kami lakukan tentang Darul Islam (DI)  adalah merupakan studi etnografis yang berlangsung cukup lama (antara tahun 1990 hingga sekarang, 2023) tentang kelompok gerakan politik Islam yang telah lama muncul dalam sejarah negara Indonesia.

Para pendiri DI sebenarnya adalah tokoh-tokoh gerakan yang telah tertempa sebagai kaum pergerakan nasionalis Islam yang sangat resilien di Indonesia hingga saat ini. Mereka adalah para pejuang yang melawan kolonialisme bangsa asing (Belanda) dan ikut serta dalam merumuskan Sumpah Pemuda.

Namun, mereka menerima berbagai risiko politik hingga dieksekusi, risiko sosial dieksklusi secara sepihak, dan mendapatkan perlakuan diskriminatif, mengalami peminggiran ekonomi yang akut dan menyengsarakan. Sebagai kaum pergerakan, mereka masih mempertahankan idealisme lama dengan mengubah medan perang menjadi ‘play ground’ yang penuh risiko. 

Gerakan Darul Islam, semenjak kekalahan definitifnya tahun 1962, mengalami turning point yang drastis di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, hingga ke wilayah-wilayah lain yang selama ini tidak dinyana sebagai daerah basis pergerakan tersebut, seperti: Madura, Sumbawa, Flores, Tual, Menado, Labuhan Batu, Bukittinggi, Jambi, Riau, Palembang, dan juga Ternate. Kendatipun demikian, “sovereignty needs more than ‘bare life’; it needs an-audience as well.[1]

Studi ini memakai pendekatan historical anthropology, di mana dalam melihat masyarakat yang menyejarah dengan tradisi historicism yang kuat dalam keseharian komunitas ini. Penulis menerapkan metode multisited ethnography untuk mengumpulkan data di lapangan di berbagai tempat (Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Banda Aceh, Labuhanbatu, Lhokseumawe, Langsa, Medan, Padang, Bukittinggi, Brebes, Yogyakarta, Balikpapan, Surabaya, Malang, Cirebon, Makassar, Banjarmasin, Padalarang, Semarang, Lampung, Singkil, Subulussalam, Tapak Tuan, Meulaboh, Nagan Raya, Geudong, Sigli, dll).

Juga terkadang terpaksa menggunakan metode penelusuran arsip di berbagai pusat arsip dunia: Nationaal Archief (Den Haag), Perpustakaan Nasional (Jakarta), Universiteit Bibliotheek Leiden (Leiden), dan juga ANRI (Jakarta). Itu pun masih belum cukup juga dalam upaya melayani kaum tekstual dan skriptural yang terkadang harus dilayani melalui berbagai kunjungan (seperti kunjungan ke pusat arsip Persis dan Muhammadiyah, Bandung, dan Yogyakarta.

Lewat penelusuran arsip yang terserak di berbagai lokasi tersebut, penulis menyusun serpihan-serpihan sejarah untuk memahami mengapa komunitas Darul Islam membangun keyakinan, bahwa secara moral Darul Islam (DI) adalah perjuangan fisik yang tidak cacat. 

 

Foot Note:

[1] Danilyn Rutherford. Laughing at-Leviathan. Chicago: University of Chicago Press, 2012.

Baca ke halaman berikutnya...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement