Kamis 27 Jul 2023 04:27 WIB

Kartosoewirjo, Darul Islam Indonesia: Sebuah Etnografi Milenarianisme (Tulisan Bagian I)

Apa sih Darul Islam dan siapa sih Kartosuwirjo dalam sejarah Indonesia?

Kartosuwiryo saat makan terakhir sebelum dieksekusi.
Foto:

Siapa Kartosuwiryo Sang Pendiri DI

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1907-1962) adalah tokoh utama dalam sejarah politik paling dramatis di tahun-tahun 1950-an, di mana perjuangan membangun sistem kekuasaan Islam yang asli ini tidak mendapatkan pengaruh-pengaruh transnasional dari Timur Tengah, tanah sumber asli agama ini. 

Muncul dari keluarga priyayi liberal di Cepu, SM Kartosoewirjo hijrah ke Jawa Barat, tanah Pajajaran tempat revolusi Islam disemai sejak tahun 1930-an. Ia adalah tokoh yang matang secara politik dan spiritual: menjadi murid HOS Tjokroaminoto, ikut dalam beragam organisasi pergerakan Sjarikat Islam, Jong Islamieten Bond, menggagas Sumpah Pemuda, fungsionaris Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII), Masjoemi, MIAI, dan membentuk Laskar Hisbullah dan Laskar Sabilillah.

Kartosuwiryo juga melucuti tentara Jepang di Jawa Barat, memerangi Belanda di Jawa Barat atas permintaan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo, dan tetap berharap Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945 untuk menjadi negara Islam. Kaum Darul Islam tidak menerima Republik Indonesia berunding Belanda dalam Perundingan Renville. 

Namun karena sesuatu hal yang tidak pernah ada settlement dalam politik integrasi di Indonesia, Republik Indonesia Serikat justru menyerang pos-pos pertahanan Darul Islam di wilayah-wilayah pegunungan di Antralina, justru pada saat mereka sedang terjepit oleh pasukan Belanda yang dibantu oleh Negara Federal Pasundan, negara boneka bentukan Belanda. Sementara itu Perjanjian Roem-Rojen, Perjanjian Linggarjati, dan Perjanjian Meja Bundar kemudian semakin meneguhkan posisi de facto dan de jure Republik Indonesia Soekarno.

Hal ini ditambah dengan kesepakatan antara Stikker dan Hatta, antara negara suksesor dan kolonial pendahulunya bekerja sama untuk menghadapi pasukan-pasukan Darul Islam di berbagai tempat: Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh, dengan jumlah korban jiwa yang hampir menyamai casualties selama Perang Kolonial

Setelah tertangkap dan dieksekusinya SM Kartosoewirjo di tahun 1962, maka audiens (khalayak) politik Indonesia mulai menoleh ke Soekarno sebagai solidarity maker yang cerdik dan charming. Khalayak Indonesia kemudian lebih memilih Soekarno ketimbang SM Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya.

Imbasnya, klaim-klaim politik pun kemudian mengalir dari Soekarno terhadap berbagai daerah yang dianggap “memberontak” di bawah panji Darul Islam. Para dissident ini banyak yang kehilangan nyawa, dan keluarganya mengalami stigmatisasi selama Orde Lama hingga Orde Baru. Padahal yang mereka lakukan adalah memerangi Belanda yang masih tega melakukan aksi polisionil di wilayah asing (foreign land) yang bukan lagi haknya untuk menancapkan kuku-kuku kekuasaan kolonialnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement