Sabtu 15 Jul 2023 07:06 WIB

Ingin Usung Capres, Partai Buruh akan Gugat Presidential Treshold ke MK

Partai Buruh jelaskan alasan enggan koalisi dengan parpol pendukung UU Ciptaker.

Rep: Febryan A/ Red: Erik Purnama Putra
Presiden Partai Buruh Said Iqbal (ketiga dari kiri) bersama tim kuasa hukumnya menyampaikan keterangan pers soal rencana partai tersebut mengajukan  gugatan uji materi atas pasal terkait presidential threshold, di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Foto: Republika/Febryan A
Presiden Partai Buruh Said Iqbal (ketiga dari kiri) bersama tim kuasa hukumnya menyampaikan keterangan pers soal rencana partai tersebut mengajukan gugatan uji materi atas pasal terkait presidential threshold, di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh mengaku enggan berkoalisi dengan partai politik pendukung UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada Pilpres 2024 mendatang. Karena itu, partai kaum pekerja itu menggugat ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar bisa mengusung capres sendiri.

Anggota tim kuasa hukum Partai Buruh, Airlangga Julio, menjelaskan, alasan partai yang identik dengan warna oranye itu dihidupkan kembali adalah terbitnya UU Ciptaker, sebuah produk hukum yang merugikan kelompok buruh. Dengan tujuan tersebut, tentu Partai Buruh ingin mengusung capres yang sesuai aspirasi kelas pekerja, bukan capres dari partai yang mendukung UU Ciptaker.

"Jika ketentuan ini (ambang batas pencalonan presiden) terus ada dan menjadi ketentuan yang tidak dapat diubah, tentu Partai Buruh akan tersandera. Partai Buruh tidak dapat mengusung capres-cawapres yang independen, sehingga menjadi tergabung dengan capres-cawapres (yang diusung partai politik) pendukung UU Cipta Kerja," ujar Airlangga saat konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).

"Intinya, Partai Buruh tidak ingin untuk bergabung atau menjadi koalisi dengan parpol pendukung UU Ciptaker," kata Airlangga menambahkan.

Anggota tim hukum Partai Buruh lainnya, Alghiffari Aqsa, mengungkapkan bahwa dalam gugatan uji materi pasal presidential threshold tersebut terdapat dua mantan bakal caleg Partai Buruh sebagai pemohon.

Keduanya mundur dari partai pimpinan Said Iqbal itu karena ada isu Partai Buruh akan mendukung bakal calon presiden PDIP, Ganjar Pranowo, lantaran tak bisa mengusung capres sendiri. Padahal, PDIP merupakan salah satu partai politik pendukung UU Ciptaker.

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, gugatan itu diajukan karena ketentuan ambang batas pencalonan presiden telah menghambat partainya untuk mencalonkan presiden sendiri. Padahal, Partai Buruh merupakan peserta Pemilu 2024.

"Andaikan tidak ada presidential threshold, kita tidak akan menjadi penonton saja dari sebuah proses penting memilih presiden. Sekarang kita hanya jadi penonton ketika koalisi A, koalisi B, koalisi C ngomong. Bahkan, kita tidak mengerti apa dasar mereka membentuk koalisi itu," kata Said merujuk pada tiga poros koalisi capres 2024

Gugatan uji materi atas pasal presidential threshold akan didaftarkan ke MK pada Kamis (20/7/2023). Gugatan diajukan oleh tiga pihak, yakni Partai Buruh dan dua mantan bakal caleg Partai Buruh.

Partai Buruh menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa dilakukan jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya. Adapun Partai Buruh ingin pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional alias dihapus.

Sebagai catatan, pasal ambang batas pencalonan presiden itu sudah puluhan kali digugat. Menurut tim kuasa hukum Partai Buruh, sudah 30 kali pasal itu digugat, tapi semuanya kandas.

MK diketahui menolak dan tidak menerima puluhan permohonan uji materi pasal presidential threshold itu dengan berbagai alasan. Puluhan gugatan sebelumnya kandas, karena MK mempermasalahkan kedudukan hukum para pemohon dan MK berdalih bahwa ihwal presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan lembaga pembentuk undang-undang, bukan lembaga kehakiman.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement