Selasa 11 Jul 2023 14:22 WIB

Demokrat dan PKS Tolak RUU Kesehatan Disahkan Jadi Undang-Undang

Demokrat menyayangkan hilangnya mandatory spending dalam RUU Kesehatan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
DPR meresmikan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-29 DPR Masa Sidang V Tahun 2022-2023, di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
DPR meresmikan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-29 DPR Masa Sidang V Tahun 2022-2023, di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR telah meresmikan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023. Hanya dua fraksi yang menolak peresmiannya, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang. Salah satu alasan penolakan adalah keputusan pemerintah yang menghapuskan pengeluaran wajib atau mandatory spending untuk sektor kesehatan sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Baca Juga

"Hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan di seluruh lapisan masyarakat," ujar Dede dalam rapat paripurna, Selasa (11/7/2023).

Fraksi Partai Demokrat ingin agar mandatory spending seharusnya ditingkatkan, bukan malah dihapuskan. Sebab, besarnya anggaran untuk sektor kesehatan bertujuan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. "Mandatory spending kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat indeks pembangunan manusia," ujar Dede.

Fraksi PKS berpandangan, RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Sebab, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA).

"Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima," ujar anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani.

Perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum. Baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, serta termasuk harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.

Pelindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka.

"(Mengusulkan) Penambahan klausul 'mendapatkan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan' pada Pasal 273 bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang telah berjuang demi kesehatan masyarakat Indonesia," ujar Netty.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement