Rabu 05 Jul 2023 07:51 WIB

Draft Revisi UU TNI Dinilai Mereduksi Supremasi Sipil

Revisi UU TNI ini juga terdapat pelemahan terhadap fungsi Kementrian Pertahanan.

Diskusi Publik yang diselenggarakan Imparsial dengan tema: Prroblematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia.
Foto: istimewa/doc humas
Diskusi Publik yang diselenggarakan Imparsial dengan tema: Prroblematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti BRIN, Diandra Megaputri Mengko, menilai draft revisi UU TNI, yang beredar di publik belakangan ini, mereduksi supremasi sipil terhadap militer. Draft revisi UU TNI, alih-alih mendorong kepatuhan militer atas supremasi sipil, justru malah memperkuat independensi militer terhadap otoritas sipil.

"Secara teoritik, perlu ada pemisahan secara tegas antara ranah militer dan ranah politik (sipil),” kata Megaputri, dalam siaran pers, Rabu (5/7/2023).

Lebih dari itu, lanjut dia, dalam draft revisi UU TNI ini pengaturan terkait pengerahan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) sifatnya juga tidak lagi situasional, melainkan konstan. Hal ini tentu sangat berbahaya karena dapat mengganggu profesionalistas militer itu sendiri.

Padahal dalam penanganan hal-hal khusus misalnya seperti terorisme, sudah ada badan khusus. Seharusnya TNI akan diperlukan bilamana badan khusus ini sudah tidak mampu lagi menanganinya. “Dan itu adalah bagian dari tugas perbantuan TNI terhadap institusi sipil,” kata Megaputri.

Revisi UU TNI ini juga terdapat pelemahan terhadap fungsi Kementrian Pertahanan, terutama terkait pengusulan anggaran pertahanan. Dijelaskannya, TNI ingin langsung mengajukan anggaran kepada Kementrian Keuangan. Sementara itu, kekuatan penganggaran merupakan salah satu alat kontrol Kementrian Pertahanan terhadap insitusi TNI.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan wacana revisi UU TNI yang berkembang belakangan ini dapat memundurkan reformasi TNI yang menjadi tuntutan geakan reformasi 1998. Gerakan reformasi 1998 menuntut penataan ulang TNI agar selaras dengan prinsip-prisip negara demokrasi.

Sementara revisi UU TNI, dinilai Gufron,  mengembalikan TNI kepada fungsi-fungsi di luar pertahanan negara. Ini justru menjauhkan TNI dari profesionalisme.

Revisi UU TNI ini juga memperkuat otonomi militer untuk mengatur diri mereka sendiri, tanpa harus lagi dikontrol oleh otoritas sipil. Contohnya dalam hal pengerahan pasukan dan juga dalam hal penganggaran.

Wacana revisi UU TNI ini, kata Gufron, ingin menghapus check and balances dari DPR terkait pengerahan kekuatan TNI melalui penghapusan kewenangan DPR dan Presiden dalam hal pengerahan TNI yang bisa dilakukan tanpa melalui keputusan politik negara. Sejatinya, lanjut dia, pengerahan TNI harus dilakukan atas perintah Presiden yang mendapat persetujuan dari DPR. Check and balances dari DPR ini merupakan bentuk pengendalian demokratis terhadap pengerahan TNI dan ini sangat penting.

"Jabatan sipil bagi militer aktif diperluas dan OMSP juga diperluas dalam wanaca revisi UU TNI. Jika hal ini sampai diakomodir oleh otoritas politik kita di DPR maka Reformasi 1998 sudah berakhir,” kata Gufron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement