Senin 03 Jul 2023 22:35 WIB

SPKS Soroti Kebijakan Pemerintah Lakukan Pemutihan Kebun Sawit

Penyelesaiaan kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan seharusnya ditangani berbeda.

Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar di Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, Rabu (10/8/2022).
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar di Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, Rabu (10/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk menyelesaiaan kebun sawit 3,3 juta dalam kawasan hutan melalui jalur pemutihan bukan solusi yang tepat. Serikat Petani Kelapa Sawit menilai, justru kebijakan itu mengabaikan upaya penegakan yang seharusnya dilakukan.

Tipologi penguasaan kebun sawit dalam kawasan hutan beragam, sehingga perlu pendekatan berbeda dan tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan pemutihan sebagaimana dalam UU Cipta Kerja. Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto mengatakan, penyelesaian penguasaan sawit dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh badan usaha, individu, atau perkebunan rakyat harus didasarkan tipologi di lapangan.

"Tipologi tersebut bisa dilihat dari segi subjek yang menguasai lahan, luasan lahan yang dikuasai, lalu bagaimana status kawasan sebelum adanya penguasaan, termasuk penyelesaian berdasarkan setiap fungsi kawasan. Basis tipologi ini yang seharusnya diidentifikasi atau diverifikasi berdasarkan data yang pemerintah sudah kantongi," ucap Darto dalam siaran pers di Jakarta, Senin (3/7/2023).

Darto mengatakan, penyelesaiaan kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan seharusnya ditangani secara berbeda dengan kebijakan yang affirmatif. Sehingga, tidak menimbulkan problem sosial dan menciptakan kemiskinan baru di perkebunan.

"Kategori perkebunan rakyat harus didefinisikan secara jelas, basisnya pada karateristik petani, seperti identitas dan keberadaan mereka harus jelas, luasan lahan, jangka waktu penguasaan dan karateristik lainnya yang relevan, sehingga resolusi penyelesaiannya lebih tepat sasaran dan transparan," ucap Darto.

Penyelesaian yang ditawarkan dalam UU Cipta Kerja pun menimbulkan persoalan baru, terutama mengenai luas lahan yang dapat diselesaikan dalam strategi penataan kawasan hutan. Menurut Harto, dalam UU Cipta Kerja lahan dibatasi maksimal lima hektare. Artinya, skala usaha kurang dari 25 hektare yang dikelola pekebun dalam UU Perkebunan, tidak semua diselesaikan dalam strategi penyelesaian kawasan hutan.

Dia pun mempertanyakan bagaimana dengan petani yang memiliki enam hektare dan seterusnya atau kurang dari 25 hektare. "Apakah ada mekanisme di luar strategi penataan Kawasan hutan ini. Hal ini yang belum didetailkan dalam skema penyelesaian dalam UU Cipta Kerja," kata Darto.

Karena itu, penyelesaian dengan strategi 'jalan tol' melalui pemutihan ini akan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memanipulasi data kepemilikan atau merekayasa luasan lahan yang mereka kuasai dalam kawasan hutan. Darto menambahkan, mekanisme self reporting yang akan digunakan oleh Satgas Sawit juga tidak akan efektif, jika pemerintah sendiri tidak memiliki data faktual di lapangan.

"Oleh sebab itu, self reporting akan efektif jika pemerintah betul-betul memiliki data hasil kajian dan verifikasi lapangan. Pemerintah juga diharapkan transparan dengan membuka data ke publik serta membuka mekanisme komplain dari masyarakat sipil," ujar Darto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement