Rabu 14 Jun 2023 22:26 WIB

LKMI PB HMI Desak Pemerintah dan DPR Tunda Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law

Pemerintah dinilai masih perlu buka ruang aspirasi publik dan partisipasi masyarakat.

Direktur Eksekutif Bakornas LKMI PB HMI, Fahmi Dwika Hafiz Triono (kanan), dalam Rakornas dan Diskusi Publik yang dihadiri oleh LKMI cabang se-Indonesia beserta ikatan senat mahasiswa kesehatan lainnya, Selasa (13/6/2023).
Foto: lkmi hmi
Direktur Eksekutif Bakornas LKMI PB HMI, Fahmi Dwika Hafiz Triono (kanan), dalam Rakornas dan Diskusi Publik yang dihadiri oleh LKMI cabang se-Indonesia beserta ikatan senat mahasiswa kesehatan lainnya, Selasa (13/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) PB HMI mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (Omnibus Law). Sejak digulirkan ke publik, RUU ini menuai penolakan cukup besar sebab belum berpihak pada kepentingan rakyat dan belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.

"Kami menyoroti beberapa hal dalam RUU Kesehatan Omnibus Law dalam hal pelayanan kesehatan, peraturan perundang-undangan seharusnya secara eksplisit memberikan kepastian hukum bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memenuhi pelayanan kesehatan warga Negara Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Bakornas LKMI PB HMI, Fahmi Dwika Hafiz Triono, dalam Rakornas dan Diskusi Publik yang dihadiri oleh LKMI cabang se-Indonesia beserta ikatan senat mahasiswa kesehatan lainnya, Selasa (13/6/2023).

 

Menurut Fahmi, dalam memenuhi kewajiban tersebut, pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan pengaturan dan pengurusan dalam bidang pelayanan kesehatan. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN), lanjut dia, pemerintah memiliki peran serta tanggung jawab untuk melakukan pengaturan meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan kesehatan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. "Hal demikian menjadi konsekuensi mutlak menimbang pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang juga lahir sebagai perintah undang-undang."

Pelayanan publik, lanjut Fahmi, merupakan mandat bagi negara dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Lebih tegasnya lagi, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) Pasal 1 Angka 1, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Berdasarkan pengertian tersebut, sambung Fahmi, kegiatan pelayanan publik pasti diatur pemenuhannya berdasarkan regulasi yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan masyarakat. "Idealnya, semua pelayanan negara sebenarnya dibiayai sendiri oleh masyarakat melalui sistem asuransi dan perpajakan, dengan orientasi utama mendukung human investment," jelasnya.

Namun, menurut Fahmi, pemerintah justru akan menurunkan standar kualitas tanpa tolok ukur yang jelas sehingga berdampak pada pelaksanaan yang buruk di kemudian hari jika masih saja keras kepala dengan menghilangkan Mandatory Minimal Spending yang dimana dianggarkan 5 persen APBN dan 10 persen APBD pada sektor kesehatan.

Pemerintah dinilai Fahmi juga telah menghilangkan perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. "Hal ini juga menjadi ancaman bagi masyarakat miskin dan tidak mampu karena pemerintah menghilangkan sebagian atau seluruh jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)."

Setelah menyimak diskusi publik LKMI PB HMI di Bandung yang disampaikan pemerintah, Komisi IX DPR RI, koalisi masyarakat, dan akademisi, serta mempelajari draf RUU beserta Daftar Inventaisasi Masalah usulan pemerintah, dengan berbagai tuntutan dan hasil kajian bersama berbagai organisasi profesi, LKMI PB HMI menyimpulkan RUU Kesehatan adalah produk hukum bermasalah dan minim partisipasi bermakna yang pernah dikeluarkan

Bakornas LKMI PB HMI, lanjut Fahmi, memandang pemerintah masih perlu membuka ruang aspirasi publik dan partisipasi masyarakat yang representatif serta menindaklanjuti aspirasi yang telah disampaikan sehingga tahapan aspirasi tidak menjadi forum yang bias serta politis semata. LKMI PB HMI juga menyayangkan penghapusan pengeluaran wajib (mandatory spending) APBN minimal 5 persen dalam RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode Omnibus Law.

"Kami yang mewakili seluruh kader HMI kedokteran dan kesehatan seluruh Indonesia menuntut penundaan RUU Kesehatan Omnibus. Kami juga menuntut peningkatan minimal mandatory spending APBN dan APBD untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan," tegas Fahmi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement