Jumat 09 Jun 2023 17:40 WIB

Kualitas Udara Jakarta Buruk, Ini Dua Sumber Utama Polusi Menurut Dinas Lingkungan Hidup

Kualitas udara di Jakarta berdasarkan catatan IQ Air dalam kondisi tidak sehat.

Rep: Eva Rianti/ Red: Andri Saubani
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). Berdasarkan situs IQAir, kualitas udara di Jakarta pada Selasa (6/6/2023) pukul 16.52 WIB berada di angka 151 atau menempati posisi ketiga dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). Berdasarkan situs IQAir, kualitas udara di Jakarta pada Selasa (6/6/2023) pukul 16.52 WIB berada di angka 151 atau menempati posisi ketiga dengan kualitas udara terburuk di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi kualitas udara di Jakarta berdasarkan catatan IQ Air dalam kondisi tidak sehat. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyebut sumber polutan berasal dari sektor industri dan transportasi.

"Untuk polutan SO2 (sulfur dioksida) sumber terbesar berasal dari sektor industri, sedangkan untuk NOx, CO (karbon monoksida), PM10, dan PM2,5 didominasi berasal dari sektor transportasi," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto dalam keterangannya, Jumat (9/6/2023).

Baca Juga

Saat disinggung soal potensi penyebab juga berasal dari kawasan industri di daerah-daerah penyangga seperti Jawa Barat dan Banten, Asep menyebut memang ada pengaruhnya.

"Sumber emisi di suatu wilayah akan memengaruhi wilayah lain karena adanya pergerakan polutan akibat pola angin yang membawa polutan bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain, sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi di lokasi tersebut," jelas dia.

Asep melanjutkan, kondisi kualitas udara yang buruk juga terjadi seiring dengan kondisi cuaca kemarau di Jakarta. Diprediksi tingkat polutan akan menurun memasuki September mendatang.

"Secara periodik kualitas udara Jakarta akan mengalami peningkatan konsentrasi polutan udara ketika memasuki musim kemarau yaitu bulan Mei hingga Agustus, dan akan menurun saat memasuki musim penghujan bulan September-Desember," ujar dia.

Hal tersebut, kata dia, terlihat dari tren konsentrasi PM 2,5 tahun 2019 sampai dengan 2023. Konsentrasi rata-rata bulanan PM 2,5 bulan April 2023 sebesar 29,75 g/m3 menjadi 50,21 g/m3 di bulan Mei 2023. Namun konsentrasi tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan Mei 2019 saat kondisi normal yaitu sebesar 54,38 g/m3.

"Hujan akan membantu peluruhan polutan yang melayang di udara, sehingga ketika memasuki musim kemarau hal tersebut tidak terjadi," ujar dia. 

Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, pihaknya melakukan berbagai upaya, mulai dari perbanyak penanaman pohon hingga peralihan pada kendaraan listrik.

"Pemda DKI akan berkenan menambah RTH (ruang terbuka hijau), kita semua menanam pohon. Di sisi lain mengurangi emisi itu misalnya uji emisi kendaraan dan tentunya peralihan bahan bakar kendaraan alternatif juga diusahakan, termasuk juga Transjakarta untuk berkenan menggunakan bus listrik," ujar Heru.

Jumlah RTH di Jakarta diketahui baru mencapai sekitar 5 persen dari target 30 persen yang diamanatkan undang-undang. Adapun kegiatan menanam pohon memang menjadi aktivitas Pj Heru yang digencarkan olehnya sejak menjabat pimpinan Pemprov DKI Jakarta.

Adapun peralihan ke kendaraan listrik juga tengah diupayakan untuk digencarkan. Eksekutif dan legislatif juga tengah memproses pembahasan Raperda tentang rancangan umum energi daerah (RUED) yang notabene berupa transformasi dari energi bahan bakar fosil ke listrik.

"Itu harus dalam jangka panjang ya, tetapi DLH selalu setiap tahun membikin program uji emisi, semuanya harus sama-sama untuk menurunkan emisi," jelas dia.

 

photo
Polusi sebabkan lebih banyak kematian dibanding covid-19. - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement