REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengeklaim kegiatan eksplorasi pasir hasil sedimentasi laut tidak mengganggu tangkapan ikan nelayan. "Tidak (ganggu), kita kan tidak masif, kan tidak," ujarnya saat ditemui di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (9/6/2023).
"Kita melihat di mana hasil kajian tim kajian. Justru (sedimentasi) itu mengganggu, mengganggu nelayan. Kapal tidak bisa lewat dan sebagainya," ucap Sakti menambahkan.
Namun, menurut dia, apabila kegiatan itu dirasa mengganggu aktivitas nelayan, maka dapat dihentikan dengan berdasarkan keputusan dan pertimbangan tim kajian. Saat ini, pemerintah sedang menyusun aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dalam bentuk peraturan menteri (permen).
Dengan belum adanya aturan teknis dari PP yang telah diundangkan pada 15 Mei 2023, kata Trenggono, hal itu turut mengkhawatirkan aktivitas reklamasi menggunakan material yang bukan hasil sedimentasi sehingga dapat merusak lingkungan. Dia mengakui, di beberapa tempat pemerintah sudah mengizinkan reklamasi.
"Nah reklamasinya itu yang kita sangat khawatir kalau selama ini tidak kita sediakan dari sedimentasi, dia akan ambil dari bahan bukan hasil sedimentasi, yang berarti kerusakan lingkungan. Seperti hilangnya pulau contohnya Pulau Rupat yang disedot (pasir), kita hentikan," ujar Trenggono.
Dengan belum rampungnya aturan turunan PP Nomor 26 Tahun 2023, menurut dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan melakukan tindakan tegas berupa penangkapan bila ditemukan aktivitas pengerukan pasir hasil sedimentasi laut.
Sebelumnya, Menteri Trenggono menuturkan, ekspor pasir laut bisa dilakukan dengan syarat pasir tersebut merupakan hasil sedimentasi dan kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Adapun ke depannya, dalam proses pemanfaatan hasil sedimentasi pasir laut, akan ditentukan tim kajian.
Tim itu terdiri atas Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Pusat Hidro-Oseanografi, para akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat terkait lingkungan.