Sabtu 03 Jun 2023 16:53 WIB
.

Prof Cita Citrawinda Soegomo Dikukuhkan Menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Unkris

Unkris kini punya 17 guru besar dan 9 di antaranya berasal dari Fakultas Hukum.

 Rektor Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Dr Ir Ayub Muktiono, Ketua Senat Unkris Prof Gayus Lumbuun, Gubes Hukum Unkris Prof Cita Citrawinda, dan Ketua Senat FH Unkris Prof Iman Santoso (dari kanan ke kiri).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof. Dr. Cita Citrawinda Soegomo, SH, MIP dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap kesembilan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) pada Sidang Terbuka Senat Unkris yang dipimpin Ketua Senat Unkris Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun. SH, MH, Sabtu (3/6/2023). Melalui orasi ilmiah berjudul "Arbitrase Sengketa Kekayaan Intektual Internasional”, Prof Cita berhak menyandang gelar akademik tertinggi profesor bidang hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor: 13592/M/072023.

Sidang pengukuhan Prof Cita tersebut dihadiri oleh seluruh anggota Senat Unkris dan guru besar tamu, di antaranya Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A, Prof. Dr. Eddy Damian, S.H, Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A, dan Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

Dalam sambutannya, Ketua Senat Unkris Prof Gayus Lumbuun mengatakan, pengukuhan Prof Cita sebagai Guru Besar Unkris merupakan suatu prestasi yang tidak ternilai bagi Unkris karena hal itu akan semakin memperkuat staf pengajar dan dosen di Unkris terutama Fakultas Hukum.

“Profesor Cita Citrawinda Soegomo adalah sosok ilmuwan yang konsisten melaksanakan tugas mengajar dan penelitian sehingga yang bersangkutan layak mendapatkan dan mencapai puncaknya sebagai guru besar di bidang hukum. Pengukuhannya sebagai Guru Besar Unkris menjadi energi baru khususnya di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang memang menjadi kekhususannya,” kata Prof Gayus.

Menurut Prof Gayus, setiap kali pelaksanaan kegiatan prosesi keilmuan di kalangan ilmuwan atau di perguruan tinggi, pada saat yang sama, terbersit pertanyaan reflektif mengenai bagaimana menempatkan dunia keilmuan dalam kehidupan yang utuh bagi seorang ilmuwan dan juga bagi masyarakat pada umumnya.

“Menuntut ilmu, sebagaimana ditunjukkan oleh Prof Cita Citrawinda Soegomo merupakan kewajiban baginya, ini karena dengan berbagai keilmuan seseorang melakukan kebaikan dan amal saleh yang mampu mengantarkannya pada kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Orang yang berilmu akan mempunyai kedudukan yang bermanfaat dalam masyarakat, disegani, dihormati, dan dijadikan tempat bertanya oleh masyarakat,” lanjut Prof Gayus.

Arbitase Sengketa Kekayaan Intelektual Internasional sebagaimana pidato pengukuhan Prof Cita, diakui Prof Gayus, merupakan metode yang semakin populer untuk penyelesaian kekayaan intelektual. Semakin populernya Arbitrase internasional sejalan dengan pentingnya kekayaan intelektual bagi kemakmuran ekonomi, perdagangan internasional, serta keuntungan komersial di dunia yang terglobalisasi dan digital saat ini.

Lebih lanjut Prof Gayus menjelaskan secara konvensional, sengketa kekayaan intelektual umumnya diselesaikan di pengadilan nasional. Namun, sejalan dengan perkembangan dan dinamika di bidang hak kekayaan intelektual, kekayaan intelektual dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dengan pengecualiaan dan batasan tertentu.

“Arbitrase internasional, sebagai metode penyelesaian sengketa pribadi dan rahasia menawarkan sejumlah keuntungan yang signifikan untuk penyelesaian sengketa kekayaan intelektual, terutama dalam kasus dengan elemen lintas batas, melibatkan penerapan hukum asing atau pihak dari berbagai yurisdiksi,” tukas Prof Gayus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement