Jumat 26 May 2023 23:00 WIB

Ingatkan Dampak Putusan MK, Legislator: Hakim MK Juga Harusnya Jabat 5 Tahun

Mengingatkan dampak putusan MK, legislator sebut jabatan hakim juga harus lima tahun.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan PPP Arsul Sani mengingatkan dampak putusan MK. Legislator sebut hakim juga harusnya jabat lima tahun.
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan PPP Arsul Sani mengingatkan dampak putusan MK. Legislator sebut hakim juga harusnya jabat lima tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, putusan tersebut juga memiliki potensi konsekuensi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.

Komisi III DPR saat ini tengah melakukan revisi UU MK yang sudah dilakukan perubahan sebanyak tiga kali. Revisi terakhir terjadi pada 2020 dan sudah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Selasa (1/9/2020).

Baca Juga

Adapun putusan MK terhadap masa jabat pimpinan KPK dinilainya akan juga berdampak dengan masa jabatan hakim MK yang diatur dalam Pasal 87. Jelasnya, Pasal 87 UU MK saat ini menjelaskan, seorang hakim MK bisa menjabat sampai 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun.

Sedangkan, dalam putusan MK tentang masa jabatan pimpinan KPK ini, MK menekankan prinsip-prinsip keadilan terhadap masa jabatan pada lembaga-lembaga negara independen yang dinilai constitutional importance. Secara tak langsung, MK mempertimbangkan masa jabatan pimpinan atau komisioner lembaga-lembaga negara semacam ini selama lima tahun.

Dengan berlandaskan asas keadilan itu, DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang akan dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan atau abuse of power. Agar keduanya tak dianggap menyalahkangunakan kewenangan, yang merupakan dampak putusan MK itu, tentu DPR secara tak langsung akan dipaksa melakukan revisi terhadap masa jabatan pejabat lembaga negara, termasuk masa jabatan hakim MK.

"Saya kaget juga, kok ada lembaga negara mengatakan lembaga negara lain abuse of power. Itu kan agak, dalam tanda kutip, penghinaan terhadap DPR dan presiden. Kan pembentuk undang-undang itu DPR dan presiden," ujar Arsul saat ditemui di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/5/2023).

"Nah supaya kita tidak abuse of power lagi, maka ini harus diubah. Konsekuensinya, semua hakim MK yang sudah lima tahun, ya, harus berakhir," sambungnya.

Berdasarkan UU 7/2020 yang merupakan revisi ketiganya, masa jabat hakim MK adalah maksimal 15 tahun. Sementara itu, pada UU MK yang pertama, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dijelaskan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya.

Lalu, dalam rapat panitia kerja (panja) revisi UU MK yang digelar tertutup pada Rabu (24/5/2023), pemerintah diklaim setuju agar masa jabat hakim MK diturunkan lima tahun menjadi 10 tahun.

Namun, sekali lagi, putusan MK terkait masa jabat pemimpin KPK akan membuat kegamangan dalam pembahasan revisi UU MK. Sebab, DPR tentu tak ingin dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melanggar asas keadilan dengan menjadikan masa jabat hakim MK menjadi 10 tahun.

"Artinya yang saya tekankan, maka bagi kita di DPR, saya sampaikan pendapat saya, maka putusan MK terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK itu berimplikasi bukan tidak hanya terhadap UU KPK yang berarti harus disesuaikan empat tahun ke lima tahun, tapi juga berimplikasi pada UU MK itu sendiri yang sekarang itu sedang kami bahas," ujar Arsul.

"Pasal 87 yang 15 tahun itu maka harus dikembalikan kepada UU MK yang pertama kali (UU Nomor 24 Tahun 2003, Red), yang pertama itu sebelum diubah itu, masa jabatan hakim MK itu lima tahun," sambung Wakil Ketua MPR itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement