REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak sayap bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) membebaskan Pilot Susi Air Kapten Philips Mark Marthen. Komnas HAM menyayangkan aksi penyanderaan yang dilakukan kelompok separatisme bersenjata terhadap pilot berkebangsaan Selandia Baru tersebut. Karena komnas menilai, aksi penyanderaan tersebut hanya membuat situasi keamanan di Papua semakin memburuk.
Pernyataan tersebut disampaikan Komnas HAM, Selasa (18/4/2023) menyikapi situasi di Papua belakangan. Terutama terkait dengan aksi kontak senjata Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan TPNPB-OPM di Pos Militer Mugi-Mam, di Nduga, Papua Pegunungan. Pernyataan tersebut, juga respons Komnas HAM terkait dengan keputusan TNI yang meningkatkan status rawan keamanan di Papua, menjadi siaga tempur darat.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova dalam pernyataannya menyampaikan, terkait isu pertama menyangkut soal kontak senjata TNI dan TPNPB-OPM mengaku menyayangkan peristiwa tersebut. Kontak senjata itu versi separatisme terbaru, Senin (17/4/2023) menewaskan 15 prajurit TNI. Dan TNI membantah dengan menyampaikan hanya satu prajuritnya yang gugur tertembak dalam kontak senjata, tetapi mengakui masih ada lima personel dari Yonif Raider 321/GT Kostrad dan Kopassus yang belum diketahui nasibnya. Kontak senjata tersebut terjadi dalam misi pasukan TNI untuk membebaskan Kapten Philips yang ditawan sayap bersenjata TPNPB-OPM di Nduga.
Penyanderaan Kapten Philip tersebut sudah berjalan lebih dari dua bulan sejak 7 Februari 2023 lalu. Atnike mengatakan, pangkal soal penyanderaan Pilot Susi Air tersebut yang memicu kontak senjata di Pos Mugi dan membuat situasi keamanan di Papua menjadi kian memburuk. Karena itu Komnas HAM menyesalkan aksi TPNPB-OPM yang melakukan penawanan pilot asal Selandia Baru itu.
“Komnas HAM menyesalkan tindakan TPNPB-OPM atas penyanderaan Pilot Susi Air Kapten Philips Mark Marthen yang semakin memperburuk situasi keamanan dan menghambat upaya-upaya damai dalam mendorong pemajuan dan pelindungan HAM di Papua,” ujar Atnike dalam pernyataannya, Selasa (18/4/2023).
Komnas HAM menilai, penyanderaan pilot asing tersebut, pun tak ada korelasi soal dengan konflik antara TNI dan separatisme prokemerdekaan Papua. Karena itu Komnas HAM, kata Atnike, meminta agar TPNPB-OPM melepaskan pilot berkebangsaan Selandia Baru itu.
Komnas HAM mendesak TPNPB-OPM segera melepaskan Kapten Philips Mark Marthen karena selaku warga negara asing yang tidak ada kaitannya dengan persoalan di Papua. Adapun menyangkut soal keputusan TNI yang meningkatkan status rawan di Papua menjadi siaga tempur, Komnas HAM meminta agar aparat militer, pun Polri tetap proporsional.
Atnike mengingatkan agar misi militer dan kepolisian dalam membebaskan Kapten Philips tetap memperhatikan dampaknya. “Komnas HAM mendukung upaya pemerintah, TNI, dan Polri dalam upaya penyelematan Kapten Philips Mark Marthen dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, praduga dalam situasi di mana timbul keragu-raguan, dan proporsionalitas untuk mencegah meluasnya konflik dan bertambahnya korban jiwa,” ujar Atnike. Komnas HAM dikatakan dia, menyarankan agar TNI, dan Polri, tetap mengutamakan penegakan hukum yang nonmiliteristik untuk misi penyelamatan tersebut.
“Mendorong adanya penegakan terhadap semua yang bertanggung jawab dalam berbagai tindak kekerasan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan prinsip-prinsip HAM. Dan meminta pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, termasuk TNI, dan juga Polri untuk memastikan jaminan perlindungan kepada masyarakat sipul yang terdampak langsung (dari status siaga tempur darat),” begitu kata Atnike. Komnas HAM juga mengingatkan semua pihak, untuk tak eksplotatif dalam merespons situasi saat ini di Papua, untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik yang semakin meluas.