Rabu 19 Apr 2023 03:31 WIB

Saat Rasulullah Merespons Kritik

Nabi Muhammad tak anti-kritik

Rasulullah SAW adalah pibadi yang tidak antikritik. Ilustrasi
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW adalah pibadi yang tidak antikritik. Ilustrasi

Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sikap Pemerintah Provinsi Lampung dalam menanggapi kritik dari masyarakat yang mengeluhkan tentang kondisi jalan, menunjukkan sebagai penguasa, pejabat pemerintah tak siap dikritik rakyatnya. Padahal, kritik dimaksudkan untuk melecut pemerintah bekerja lebih giat dalam melayani warga, dan bukan menyerang personal pejabat pemerintah yang bersangkutan.

Sebagaimana diketahui belakangan ini, jagat maya diramaikan dengan kasus tanggapan kritik dari pegiat media sosial asal Lampung bernama Bima Yudho Saputra. Di mana, berdasarkan pengakuan orang tua Bima, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi sempat menyebut bahwa orang tua bima tak bisa mendidik anak, alih-alih berterima kasih karena anaknya memberi masukan positif untuk pemerintah.

Bisa jadi, kasus tanggapan pemerintah provinsi Lampung terhadap warga yang mengkritik, pernah terjadi di pemerintahan daerah lainnya. Namun, tak terekspose publik.

Padahal, Nabi Muhammad SAW, seorang pemimpin agung, tak lepas dari kritik dari para pengikutnya. Namun, bagaimana reaksi Nabi saat mendengar kritik itu?

Dikutip dari buku yang berjudul ’99 Resep Hidup Rasulullah’ karya Abdillah F. Hasan, sebagaimana Rasulullah SAW, Beliau bukanlah orang yang antikritik. Beliau adalah manusia biasa yang perlu masukan dari para sahabatnya. Saat terjadi perang Badar, pasukan Muslimin berhenti di sebuah sumur yang bernama Badar dan Beliau memerintahkan untuk menguasai sumber air tersebut sebelum dikuasai musuh.

Salah seorang sahabat yang pandai strategi perang, Khahab ibn Mundzir ra berdiri menghampiri Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah penentuan posisi ini adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?”

Beliau menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang.” Kemudian Khahab menjelaskan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.”

“Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum,” kata Khahab.

Apakah Rasulullah SAW marah dikritik oleh Khahab? Tidak, beliau berpikir lalu menyetujui kritikannya sambil tersenyum. “Pendapatmu sungguh baik.” Malam itu juga, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan usulan dari Khahab tersebut. Dimana akhirnya kaum Muslimin memenangkan peperangan tersebut dengan telak.

Contoh lainnya, seperti yang dikisahkan dalam Perang Hunain. Saat itu, Rasulullah memberikan unta untuk al-Aqra’ bin Habis dan Uyainah, masing-masing 100 ekor unta. Ternyata, keputusan Rasulullah itu dianggap tidak adil bagi sebagian sahabat. Mereka bahkan menuduh Rasulullah kalau pemberian itu tidak dilandasi untuk mendapatkan ridha Allah.

Usai perang, ada seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah. Dia protes karena Rasulullah hanya memberi unta kepada al-Aqra’ bin Habis dan Uyainah. Sementara Ju’ail bin Saraqah tidak dikasih unta barang seekor pun.

Rasulullah lantas menjelaskan mengapa dia melakukan itu. Kata Rasulullah, Ju’ail bin Saraqah sudah mantap dan kokoh keislamannya sehingga tidak perlu diberi harta benda. Sementara Uyainah dan al-Aqra diberi unta masing-masing 100 ekor- agar keislaman mereka menjadi kuat. Karena mereka termasuk al-muallafah qulububum (orang yang dilunakkan hatinya), sementara Ju’ail bin Saraqah tidak.

Dari contoh-contoh Nabi tersebut, sudah sepatutnyalah  pejabat negara, mau mendengar keluh kesah rakyatnya. Apalagi, jika kritik tersebut bertujuan untuk mengoreksi kinerja pemerintah dalam pembangunan. Toh, yang disampaikan pengritik adalah lembaganya, bukan pribadi dari pejabat bersangkutan.

Selain itu, kritik yang disampaikan di Lampung itu, juga tidak memuat ujaran kebencian maupun SARA. Apalagi, kritik dalam upaya penyampaian pendapat juga tertuang dalam konstitusi kita. Yakni, Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Jadi, selama kritiknya masih dalam koridor hukum, maka tak selayaknya pemerintah menanggapinya dengan sinis, apalagi 'mengasuskannya.'

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement