REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwujudkan ukhuwah islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim yang dikembangkan menjadi ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan kebangsaan harus menjadi perekat di tengah kontestasi politik nasional yang tengah berlangsung saat ini. Kesadaran membangun persaingan yang sehat juga harus menjadi pegangan semua pihak menyonsong Pemilu 2024.
"Untungnya persaingan kita saat ini ada panggungnya, ada aturannya. Ketika persaingan dibingkai dengan aturan, dan was it yang adil, Maka kontestasi sehat dipastikan terwujud. Alquran sendiri mengajarkan untuk bersaing dengan sehat. Yang tidak boleh adalah persaingan yang tidak sehat," ujar Penjabat Sementara (Pjs) Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Marsudi Syuhud di Jakarta pada Senin (17/4/2023).
Menurut dia, dalam setiap persaingan selalu ada ancaman perpecahan. Terlebih bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku, bahasa, agama, dan kelompok lainnya. Dengan adanya semangat persaudaraan kebangsaan, sambung dia, akan tumbuh solidaritas di antara sesama anak bangsa.
"Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bahasa, agama, telah bertekad untuk bersatu menjadi ummatan wahidah, bangsa yang satu," ujar Kiai Marsudi dalam webinar Moya Institute bertema 'Ukhuwah Islamiyah Vis a Vis Krisis Global dan Kontestasi Politik 2024'.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti mengatakan, untuk mewujudkan kontestasi politik pemilu yang aman dan damai, penyelenggaraannya harus dilaksanakan secara baik supaya tidak memunculkan masalah. Mu'ti mengatakan, bila pun ternyata dalam penyelenggaraan pemilu masih timbul masalah, maka penyelesaiannya harus dituntaskan tanpa memecah persatuan bangsa Indonesia.
"Situasi penyelenggaraan pemilu yang kondusif serta berkualitas harus terpenuhi agar tercipta kontestasi politik yang sehat. Untuk mencapai kontestasi politik yang sehat itu semua komponen bangsa tidak boleh pasif," ucap Mu'ti.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komaruddin Hidayat mengatakan, hingga saat ini, pemilu masih dianggap sebagai instrumen demokrasi terbaik oleh masyarakat, termasuk umat Islam di dalamnya. Kendati harus diakui, kata dia, pemilu memiliki juga ketidaksempurnaan dalam penyelenggaraannya. Misalnya saja, masyarakat tergolong masih tidak mampu memilih pemimpin yang Baik berbasis rasionalitas, human emosional.
"Bisa saja ada oknum politisi dalam pemilu yang bermain uang, apalagi ada oligarki yang hamburkan banyak uang untuk membeli suara. Jika keadaannya demikian maka pemilu yang seharusnya sehat harus diselamatkan," ucap Komaruddin.