Kamis 30 Mar 2023 08:33 WIB

Sultan Sebut Tren Importasi Beras akan Meningkat Pasca-UU Cipta Kerja Disahkan

UU Cipta Kerja telah menghapus aturan larangan impor komoditas pertanian

 Wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin memperkirakan tren importasi beras Indonesia akan terus meningkat pascadisahkannya Perppu Cipta kerja menjadi Undang-undang oleh DPR. (ilustrasi).
Foto: Dok. Humas DPD RI
Wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin memperkirakan tren importasi beras Indonesia akan terus meningkat pascadisahkannya Perppu Cipta kerja menjadi Undang-undang oleh DPR. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemenuhan dan ketahanan pangan melalui kebijakan impor terus mendapatkan sorotan serius dari pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Kebijakan ironis yang dilakukan di tengah musim panen Raya ini akan menjadi awal dari penghentian terakhir Indonesia di tengah jalan mewujudkan kemandirian pangan.

Menurut Wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin memperkirakan tren importasi beras Indonesia akan terus meningkat pascadisahkannya Perppu Cipta kerja menjadi Undang-undang oleh DPR. UU Cipta Kerja telah menghapus aturan larangan impor komoditas pertanian pada saat kebutuhan dan cadangan komoditas pertanian dalam negeri mencukupi.

Baca Juga

"Sangat jelas, UU Cipta kerja telah memposisikan kegiatan impor pangan sebagai upaya pemenuhan pangan dalam negeri yang bisa dilakukan tanpa syarat apapun dan kapanpun. Dengan demikian Bangsa ini secara resmi telah mengubur cita-cita kemandirian pangannya sendiri," ujar Sultan melalui keterangan resminya, pada Kamis (30/3/2023).

Kebijakan impor pangan yang cenderung dilandasi oleh motif rent seeking politik ini, kata Sultan, akan berdampak sistemik pada masa depan pertanian Indonesia. Setidaknya akan terjadi kehilangan harapan dan semangat para petani untuk melakukan budidaya tanaman padi.

"Pada titik ini akan terjadi shifting profesi petani secara massal dan tentunya akan signifikan meningkatkan trend konversi lahan pertanian. Dominasi produksi pangan negara penghasil utama beras dengan pendekatan mekanisasi dan teknologi pertanian modern yang efisien akan terus mendorong Indonesia memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya dengan produk pangan murah yang mereka hasilkan," urai mantan ketua HIPMI Bengkulu itu.

Sementara Pemerintah, lanjut Sultan, hingga saat ini masih belum mampu menetapkan titik keseimbangan harga eceran tertinggi gabah kering di tingkat petani dan harga beras di pasaran. Kecendrungan pada kepentingan korporasi masih terasa jika kita melihat ketimpangan kenaikan HET GKP dibandingkan kenaikan HET beras.

"Sangat panjang efek domino yang akan merugikan petani dan masa depan industri pertanian Indonesia, jika pemerintah hanya fokus pada menjaga stabilitas harga beras dengan terus menghapus berbagai subsidi yang membantu mengurangi biaya produksi petani," tegasnya.

Lebih lanjut, senator asal Bengkulu ini, meminta agar pemerintah segera mencari solusi jangka panjang dalam rangka memastikan dan menjamin cadangan Beras pemerintah (CBP) terjaga sesuai standar minimum Bulog. Saran kami Badan Pangan Nasional dan Bulog  harus juga ditugaskan untuk melakukan produksi beras secara mandiri dengan melakukan kemitraan dengan seluruh Petani se-Indonesia.

"Bapanas dan Bulog jangan hanya menjadi off taker yang sudah pasti kalah bersaing dengan korporasi beras swasta. Institusi pangan ini harus turun ke lahan-lahan pertanian terutama dalam agenda Food Estate pemerintah," tutupnya Sultan.

Diketahui, Ketentuan impor komoditas pangan dimuat pada klaster pertanian Pasal 30 UU Cipta Kerja, yang mencabut UU sebelumnya yaitu UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

"Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor Komoditas Pertanian dengan tetap melindungi kepentingan Petani," bunyi Pasal 30 ayat (1) Perppu yang kini telah disahkan DPR menjadi UU Cipta Kerja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement