Kamis 23 Mar 2023 19:25 WIB

Desakan Penegakan Hukum Agar Isu Transaksi Rp 349 T tak Sekadar Jadi 'Bola Panas'

PPATK diharapkan tak memanfaatkan momentum ini untuk sekedar mencari panggung.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023). Rapat tersebut membahas terkait isu soal adanya transaksi mencurigakan di Kementerian/ Lembaga.
Foto: Republika/Prayogi.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023). Rapat tersebut membahas terkait isu soal adanya transaksi mencurigakan di Kementerian/ Lembaga.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbat

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diminta bekerja profesional dalam mengusut dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp 349 triliun. PPATK diharapkan tak memanfaatkan momentum ini untuk sekedar mencari panggung. 

Baca Juga

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua LSM anti korupsi IM57+ Institute M Praswad Nugraha. Praswad mendorong PPATK melemparkan isu ke publik sekaligus mempertanggungjawabkannya dengan tindak lanjut. 

"Hendaknya PPATK sebagai financial intelligence unit bekerja secara profesional untuk menindaklanjuti transaksi-transaksi mencurigakan dan rekening gendut baik milik pejabat publik maupun penegak hukum bukan malah melemparkan berbagai kontroversi kepada publik yang membuat publik kebingungan," kata Praswad dalam keterangannya kepada Republika, Kamis (23/3/2023).  

Praswad merujuk Pasal 37 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang PPATK yang menyebutkan bahwa PPATK harus bersifat independen. Ia tak ingin PPATK dimanfaatkan untuk kepentingan pengaruh kekuasaan. 

"PPATK bukanlah panggung politik, melainkan tempat bagi orang-orang yang bekerja secara profesional mengungkap adanya transaksi terkait TPPU," ujar eks pegawai KPK itu. 

Praswad juga mengingatkan masyarakat sudah muak dengan saling lempar informasi yang dilakukan antarpejabat negara. Padahal belum ada satupun pihak yang terindikasi memilki rekening gendut dimintakan pertanggungjawaban atas hartanya tersebut. 

"Kalau konsisten dengan pernyataan 'kerja, kerja, kerja' maka tunjukkan dengan serius, bukan saling menyalahkan dan membuat publik bingung," ujar Praswad.  

Selain itu, Praswad mendukung aparat penegak hukum memproses dugaan TPPU yang masuk radar PPATK. Hal ini guna memulihkan kepercayaan publik terhadap sebagian pejabat negara yang santer diisukan punya kekayaan fantastis. 

"KPK, Kepolisian dan Kejaksaan selaku penegak hukum yang diamanatkan oleh undang-undang TPPU harus dapat merawat kepercayaan publik dengan cara melakukan penegakan hukum terhadap terduga pejabat-pejabat publik yang memilki rekening gendut dan terindikasi didapatkan dari hasil gratifikasi," ucap Praswad.  

Di sisi lain, Praswad prihatin dengan reformasi sektor perpajakan yang ternyata sampai hari ini masih membuat kekecewaan besar. Terutama usai mencuatnya rekening gendut mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo.  

"Skandal terus menerus terungkap namun tidak dapat memberi dampak yang signifikan terkait adanya perbaikan sistem dan hukuman atas pelanggaran-pelanggaran yang ada pada institusi pajak," ucap Praswad. 

Diketahui, transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di tubuh Kemenkeu dalam rentang waktu 2009-2023 pertama kali dikemukakan oleh Menko Polhukam pada 8 Maret 2023 sebagai temuan dari PPATK. Pada 10 Maret 2023, Mahfud menyatakan bahwa transaksi tersebut bukan korupsi, melainkan dugaan TPPU dan melibatkan sekitar 467 pegawai di tubuh Kemenkeu.

Pada 14 Maret 2023, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan bahwa temuan tersebut merupakan angka yang berkaitan dengan pidana asal kepabeanan maupun perpajakan yang ditangani Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal. Belakangan, jumlahnya diralat Mahfud MD menjadi Rp 349 triliun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement