REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, mengonfirmasi izin pengusaha industri untuk memangkas gaji buruh maksimal 25 persen. Menurut dia, pemotongan gaji selama enam bulan itu hanya berlaku pada beberapa industri padat karya yang berorientasi ekspor.
“Ini Permenaker hanya untuk lima industri padat karya, dan kita pakai data. Ada data penurunan permintaan produk permintaan jadi di Amerika dan Eropa,” kata Indah kepada awak media di kantornya, Kamis (16/3/2023).
Dia menjelaskan, lima industri padat karya non migas itu adalah industri tekstil dan industri pakaian jadi, industri alas kaki, industri kulit dan barang kulit, industri furniture serta industri mainan anak. Dia menegaskan, ada penurunan pasokan dan permintaan ekspor dari Amerika serta Eropa sejak Oktober tahun lalu.
“Tapi perusahaan ekspor yang bisa melakukan (pemotongan) itu hanya perusahaan yang memiliki paling sedikit 200 karyawan,” kata dia.
Selain itu, ketentuan persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi, paling sedikit juga sebesar 15 persen. Khusus bukti lain untuk pengusaha terdampak, kata dia, harus dibuktikan dengan surat permintaan pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa.
Dia menambahkan, pengusaha dilarang membayar upah pekerja di bawah 75 persen. “Itu sudah tok ketentuannya,” kata Indah.
Dirinya menyebutkan, ketentuan pemotongan gaji dan waktu kerja juga harus sesuai persetujuan dengan pekerja. Apabila tidak ada persetujuan namun pengusaha tetap melakukan isi dari Permenaker Nomor 5 Tahun 2023, kata dia, para buruh bisa melaporkannya ke Disnaker atau Kemenaker. “Dan kesepakatan dibuat secara tertulis,” ujar dia.
Latar belakang penurunan gaji dan waktu kerja itu, kata dia, dilakukan seiring data dari BPS menyoal ekspor non migas Indonesia ke Eropa dan Amerika. Sebagai contoh, pada Februari nilai ekspor non migas Indonesia sektor tadi mencapai 21,4 miliar dolar AS.
“Nilai itu turun 4,15 persen dibanding bulan sebelumnya. Penurunan nilai ekspor nasional juga terjadi selama enam bulan lalu sejak September 2022,” kata Indah.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023, awal pekan lalu. Dalam aturan tersebut, Kemenaker menyoroti perusahaan industri padat karya tertentu yang berorientasi pada ekspor.
Melalui beleid tersebut, Kemenaker mengizinkan pengusaha untuk memangkas gaji buruh hingga 25 persen. “Perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75 persen (tujuh puluh lima persen) dari upah yang biasa diterima,” kata Ida mengutip Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 Pasal 8 poin satu (1).
Namun, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menegaskan menolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan. Menurut dia, pemotongan gaji pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor melanggar ketentuan yang ada.
“Kami menolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 yang membolehkan perusahaan padat karya tertentu orientasi ekspor membayar upah 75 persen. Hal itu jelas melanggar Undang-Undang. Apabila nilai penyesuaian upah ini di bawah upah minimum, itu adalah tindak pidana kejahatan,” kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Dia mengatakan, Permenaker yang ada jelas melanggar UU dan Peraturan Pemerintah yang telah ditandatangani Presiden. Menurut dia, kebijakan di presiden menentukan upah minimum. “Kenapa Menaker membuat Permenaker yang isinya bertentangan dengan peraturan di atasnya?” tanya dia.
Said Iqbal menambahkan, keadaan tertentu yang menjadi syarat dalam Permenaker ini tidak jelas. Dia menyebut, hal ini juga rentan disalahgunakan perusahaan untuk membayar upah buruh dengan murah.
“Perusahaan orientasi ekspor dibolehkan membayar upah hanya 75 persen, tetapi perusahaan domestik tidak boleh. Ini diskriminatif. Apakah Menaker bermaksud mau mematikan perusahaan dalam negeri?” kata dia.