REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah gempuran budaya modern, sanggar-sanggar seni Betawi masih berdiri tegak sebagai penjaga identitas Jakarta. Di tempat inilah, tarian, musik, dan tradisi tutur Betawi terus hidup, diwariskan dari generasi ke generasi.
Meski jumlahnya kian berkurang, para pelaku seni di sanggar-sanggar itu tetap setia menjaga warisan leluhur, menjadikannya sebagai benteng terakhir pelestarian budaya Betawi di tengah perubahan zaman.
Salah satu sanggar yang mencoba bertahan untuk melestarikan budaya Betawi adalah sanggar Kembang Kelapa. Sanggar ini berada di Kawasan Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, tepatnya di jalan perikanan II, Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Lewat sanggar ini, sejumlah anak muda tekun belajar dan berlatih berbagai seni Betawi, dari mulai Gambang kromong, berbagai tarian Betawi, palang pintu, ondel-ondel, ,lenong, tanjidor, hadroh dan marawis. Sanggar ini berdiri pada 17 September 2016. Namun khusus seni tari, baru berdiri setahun belakangan.
Menurut Ketua sanggar Kembang Kelapa, Anas Asril Hizbullah, Nama kembang dimaknai sebagai keindahan dan kelapa diambil dari buah kelapa yang bermanfaat bagi kehidupan, dari mulai akar hingga buah serta isinya. Dengan filosofi itu, diharapkan sanggar ini berguna dan memiliki aspek keindahan.
Mengingat pentingnya keberadaan sanggar dalam mempertahankan seni Betawi, tim Dosen dari Fakultas Komunikasi dan Desain Kreatif, Universitas Budi Luhur Jakarta melakukan pengabdian masyarakat, melalui skema Program Inovasi Dan Seni Nusantara (PISN). Kegiatan ini didukung Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, tahun pendanaan 2025.
Kegiatan yang berlangsung sejak September hingga Desember 2025 ini diisi dengan berbagai kegiatan pendampingan, workshop/pelatihan seni tari dan seni musik gambang kromong, pelatihan pemanfaatan media sosial, dan pementasan seni Betawi.
Salah satu masalah yang dihadapi setiap sanggar untuk berkembang adalah akses pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman seni Betawi. Karena itu, pada seni tari, program ini menghadirkan maestro tari Betawi, Wiwik Widyastuti untuk melatih langsung anggota sanggar.
Wiwik bukanlah tokoh sembarangan dalam seni Betawi. Ia telah menciptakan beberapa tari kreasi Betawi yang ikonik. Karyanya yang paling terkenal adalah tari Lenggang Nyai. Tarian ini diciptakan pada tahun 2002, terinspirasi dari kisah Nyai Dasima, yang menggambarkan perjuangan seorang perempuan akan kebebasan dan haknya. Selain itu, Wiwiek juga menciptakan Tari Topeng Gong (1994), Tari Ronggeng Blantek (1978), dan Tari Kembang Lambangsari.
Pada workshop yang digelar pada 9 November tersebut, para peserta tari yang didominasi anak anak, diajarkan teknik gerak, ekspresi, serta makna filosofis yang terkandung dalam tarian. Dalam workshop, juga dikenalkan tentang sejarah, asal usul dan makna Tari Ngarojeng. Selain itu juga diajarkan Teknik Gerak Dasar Tari Gibang, Selancar, dan Kewer. Berbagai tarian itu diiringi musik Ajeng Betawi dengan perkusi dan tanjidor.
Sebelumnya, pada 8 November, program ini juga menghadirkan Erik Herlanda, pelatih gambang kromong dari komunitas Panjak Jakarta. Gambang Kromong merupakan salah satu kesenian musik tradisional Betawi, yang mulai berkembang sekitar abad ke-18. Nama “Gambang Kromong” diambil dari dua instrumen utama yang menjadi ciri khas kesenian musik ini, yaitu: Gambang & Kromong.
Di sini, para anggota sanggar diajarkan tentang cara mempermainkan Alat Musik yang terdapat pada seni musik gambang kromong, yakni gambang, kromong, gendang, Tehyan, Kongahyan, Sukong, kecrek dan gong. Dari mulai sistem nada, ritme, karakter suara, tempo dan melodi.
Workshop ini, diharapkan membuat sanggar lebih berdaya dan dapat menelurkan karya kreasi baru, khususnya pada seni tari. Menurut pelatih tari sanggar, Muzilah, mereka selama ini memiliki keterbatasan kemampuan untuk membuat tari kreasi baru.
Selain karena masih belum memahami seni gerak ini secara mendalam, mereka juga terkendala ketiadaan alat musik gambang kromong sebagai musik pengiring dalam seni tari. Karena itu juga, dalam program ini, tim pelaksana membantu pengadaan alat musik gambang kromong.
Selain itu, juga pengadaan kostum dan aksesori untuk tarian. Dengan begitu, sanggar ini diharapkan memiliki semangat dan kemampuan untuk berinovasi dalam seni tari dan seni musik, sehingga akan lebih dikenal masyarakat, serta diakui sebagai sanggar yang layak dibantu pendanaan oleh pemerintah.
Keberadaan sanggar yang melestarikan seni betawi perlu diketahui oleh khalayak luas. Salah satu cara efektif untuk mempopulerkan seni betawi adalah melalui media sosial. Menurut koordinator program, Muhammad Ikhwan, program ini juga memberi pelatihan pemanfaatan media sosial kepada para anggota sanggar. “Dengan memposting seni betawi di media sosial, kami berharap seni betawi akan lebih dikenal masyarakat”, katanya.
Harapan berikutnya, hal itu juga bisa menarik para generasi muda untuk lebih peduli dan mencintai budaya lokal, khususnya budaya betawi. Ini adalah tugas mulia yang harus dijalankan, di tengah kondisi anak muda saat ini yang lebih menggandrungi seni musik populer dan budaya barat.