REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti keluhan para dokter terkat proses uji kompetensi dokter Indonesia (UKDI) untuk mengantongi Surat Tanda Registrasi (STR). Ia tak menampik berbagai keluhan lain soal STR yang harus diperbarui secara berkala setiap periode waktu tertentu.
Menkes berencana untuk membuat perizinan tersebut disederhanakan. “Kita mau sederhanakan, kita mau gabungkan, supaya izinnya jangan terlampau banyak dan kita permurah,” kata Budi di acara public hearing soal RUU Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Dia menambahkan, berbagai keluhan untuk mendapat STR juga karena prosesnya yang dianggap sulit dan tidak transparan. Apalagi, biaya untuk mengikuti tes STR mencapai Rp 6 juta dan diikuti hampir 77 ribu dokter yang diatur KKI. “Rp 460 miliar setahun. Menurut saya waduh itu mahal sekali ya,” katanya.
Ihwal digunakan untuk mengurus perizinan, Menkes Budi menyarankan agar ada pertimbangan ke sektor lain. Dia menyebut, pertimbangan ke arah pendidikan ataupun pengembangan lebih baik menjadi prioritas.
Sebenarnya, kata dia, STR ini masuk dalam draft RUU Kesehatan pasal 245 poin lima dan enam yang kini baru selesai di Baleg DPR. Kedepannya, disebutkan jika STR masih bisa berlaku setiap lima tahun sekali dan bisa dicabut jika ada perubahan kompetensi maupun profesi dari tenaga kesehatan tersebut.
Di lokasi yang sama, beberapa pihak tenaga kesehatan memang menolak adanya supremasi dari salah satu organisasi kedokteran. Salah satu perwakilan dari Forum Pejuang STR, Dokter Maya Sandra mengatakan, banyak pihaknya yang tidak lulus mengantongi STR.
“Banyak teman-teman kami yang berjuang untuk STR tidak lulus hingga delapan kali, dan kami pertanyakan uang itu untuk apa,” tutur Maya.
Lebih jauh, perwakilan Presidium Farmasi Indonesia Bersatu (FIB) Ismail juga mengatakan hal serupa. Menurut dia, merunut pada RUU Kesehatan yang masih memberlakukan STR setiap lima tahun sekali masih bisa dijadikan lahan bisnis. “Harusnya STR seumur hidup,” keluhnya.