Sabtu 04 Mar 2023 12:09 WIB

Pakar Hukum UII Minta KPU tak Ikuti Putusan PN Jakpus Soal Tunda Pemilu

Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Erik Purnama Putra
Petugas keamanan menutup pagar gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Kemayoran, Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA
Petugas keamanan menutup pagar gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Kemayoran, Jakarta, Rabu (7/10/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis (2/3/2023) membacakan Putusan 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst terkait perkara gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melakukan perbuatan melawan hukum, karena tidak meloloskannya sebagai peserta Pemilu 2024.

PN Jakpus menghukum KPU tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu selama dua tahun empat bulan dan mengulang tahapan dari awal atau pemilu diundur menjadi Juli 2025. Peneliti PSHK Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Yuniar Riza Hakiki menilai, putusan hakim itu cacat logika dan keliru.

"Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia," kata Yuniar saat dikonfirmasi Republika.co.id, Sabtu (4/3/2023).

Dia menuturkan, substansi perkara itu pada hakikatnya bukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum bidang keperdataan. Melainkan, perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU.

Sehingga, secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak ada wewenang mengadili substansi perkara terkait sengketa pemilu. Pasalnya, tahapan pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum pihak berperkara dalam sengketa keperdataan.

Maka dari itu, sambung dia, walau putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dirasa memulihkan kerugian Partai Prima, tapi menghukum KPU menunda tahapan pemilu merugikan kepentingan hukum lebih luas, seperti parpol yang sudah ditetapkan peserta pemilu.

"Serta, rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap lima tahun," ujar Yuniar.

Dia menyinggung tidak ada sama sekali mekanisme penundaan pemilu di konstitusi dan UU Pemilu. Di UU Pemilu yang ada hanya penundaan pemungutan suara dan hanya bisa diberlakukan KPU untuk daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik.

Artinya, lanjut Yuniar, bukan seluruh Indonesia atau secara nasional. Sehingga, pelaksanaan pemilu setiap lima tahun harus tetap dilaksanakan sesuai yang telah ditetapkan pada 2024. Hal ini sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Masalah yang ditimbulkan putusan PN Jakpus itu mengindikasi majelis hakim  keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara.

Oleh karena itu, PSHK FH UII memandang Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) perlu memeriksa majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut. Mereka yang memutuskan perkara itu adalah Teungku Oyong dengan anggota hakim H Bakri dan Dominggus Silaban.

Apabila ketiganya terbukti melanggar kode etik dan hukum, menurut Yuniar, maka harus diberi sanksi. Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst yang dibangun atas cacat logika hukum. Dan, kekeliruan kompetensi PN Jakpus dalam memeriksa perkara kepemiluan yang menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional.

"Maka, hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum (never existed)," kata Yuniar. Terhadap beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan KPU tidak perlu melaksanakan putusan PN Jakpus terkait penundaan tahapan pemilu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement