REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sekretaris Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional Eko Prasojo menilai perlu ada gerakan untuk mendorong pejabat agar bergaya hidup sederhana dan dekat dengan masyarakat.
"Apa yang dilakukan pejabat ini berpengaruh terhadap kepercayaan dan citra pemerintah," kata Eko di sela Seminar Indonesian Association for Public Administration (IAPA) di Semarang, Jumat.
Seminar nasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro Semarang itu mengangkat Tema "Arah Reformasi Birokrasi Indonesia dan Kepemimpinan Nasional Baru".
Menurut dia, pejabat sebagai pelayan publik semestinya menjauhkan diri dari gaya hidup mewah, apalagi sampai dipertontonkan kepada masyarakat yang seharusnya mereka layani.
"Jadi, saya rasa ini perlu menjadi semacam gerakan dan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong pejabat birokrasi dan politik untuk bergaya hidup sederhana dan dekat dengan masyarakat," ujarnya.
Eko menjelaskan bahwa tujuan reformasi birokrasi, salah satunya adalah untuk membentuk budaya baru, yakni bagaimana pejabat sebagai pelayan publik mampu melayani masyarakat.
"Ini kan butuh perubahan. Perubahan itu ada dua. Perubahan struktural dan kultural. Nah, perubahan kultural ini yang paling susah dilakukan karena menyangkut nilai-nilai dalam diri pejabat," ujarnya.
Ia mengakui pejabat kaya memang tidak serta merta harta yang didapatkannya dari hasil korupsi, namun bisa saja mereka mendapatkannya dari banyak sumber, misalnya usaha atau warisan.
"Mungkin income dari seorang pejabat birokrasi itu dari mana saja. Bisa berasal dari warisan, usaha, komisaris (perusahaan), dan seterusnya," katanya.
Meski demikian, Eko mengatakan bahwa pejabat semestinya tetap mencerminkan kesederhanaan dalam hidup dan memberikan teladan yang baik bagi bawahannya dan masyarakat.
Sementara itu, Ketua IAPA Prof Agus Pramusinto menyebutkan pemerintah bisa memberikan regulasi untuk mengatur gaya hidup pejabat, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Agus tak menampik adanya pejabat yang menunjukkan gaya hidup bermewah-mewahan, tetapi tidak sedikit pula yang sudah menunjukkan keteladanan untuk bergaya hidup sederhana. "Kita harus 'fair' melihat itu. Kemudian, kita harus pastikan ada keteladanan dari pimpinan terkait budaya atau gaya hidup sederhana. Kultur kita kan kultur panutan. Kalau di atas tidak memberi contoh, di bawahnya susah," jelasnya.