Jumat 03 Mar 2023 00:18 WIB

Tunda Pemilu, Mantan Ketua MK Pertanyakan Kompetensi Hakim PN Jakpus

Mantan Ketua MK mempertanyakan kompetensi hakim PN Jakpus yang menunda Pemilu 2024.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva mempertanyakan kompetensi hakim PN Jakpus yang menunda Pemilu 2024.
Foto: Surya Dinata/RepublikaTV
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva mempertanyakan kompetensi hakim PN Jakpus yang menunda Pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dinilai tak punya kompetensi memutus perkara sengketa terkait proses tahapan pemilihan umum (pemilu). Hal tersebut dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva atas putusan PN Jakpus yang mengabulkan permohonan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Salah satu isi dalam putusan PN Jakpus atas gugatan Partai Prima menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Baca Juga

Atas putusan tersebut, Pemilu 2024 yang sudah dijadwalkan pasti tahun mendatang terancam tak dapat digelar. Kata Hamdan, meskipun putusan tersebut baru tingkat pertama, dan dipastikan dapat dilawan di tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT).

Akan tetapi menurut Ketua Umum Sarekat Islam tersebut, putusan tersebut melampaui kompetensi absolut para hakim dan pengadilan yang menangani perkara tersebut.

“Perlu dipertanyakan pemahaman kompetensi hakim PN dalam memutuskan perkara tersebut. Karena perkara ini bukan kompetensinya. Jelas bisa salah memahami objek atas gugatan dari penggugat (Prima),” kata Hamdan dalam siaran pers yang diterima Republika, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Hamdan menerangkan, persoalan hukum ajuan Prima tersebut sebetulnya rancu. Maslah utama kasus tersebut dikatakan Hamdan, terkait dengan verifikasi kepesertaan pemilu yang masuk dalam klasifikasi sengketa ke-pemilu-an. Namun dikatakan Hamdan, gugatan tersebut disorongkan melalui keperdataan di PN Jakpus.

Menurut Hamdan persoalan hukum dalam verifikasi kepesertaan pemilu, masuk dalam sengketa kepemiliuan. Penyelesaian hukumnya ada di tiga badan dan lembaga hukum yang terpisah. 

Di Badan Pengawas Pemilhan Umum (Bawaslu), atau di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atau di Mahkamah Konsitusi (MK). Seharusnya dipahami bahwa sengketa pemilu itu termasuk masalah verifikasi peserta pemilu adalah kompetensi peradilannya sendiri di Bawaslu, PTUN, atau di MK jika itu menyangkut sengketa hasil pemilu.

"Tidak bisa sengketa pemilu dibawa ke ranah keperdataan dengan alasan PMH (perbuatan melawan hukum),” terang Hamdan.

PN kata Hamdan, terang tak memiliki kewenangan, maupun kompetensi dalam memutus perkara yang masuk dalam kualifikasi sengketa pemilu.

“Tidak ada kewenangan PN dalam memutuskan masalah sengketa pemilu. Termasuk dalam masalah verifikasi kepesertaan pemilu ini,” ujar Hamdan.

Sebab itu dikatakan dia, semua pihak wajib untuk mempertanyakan kompetensi para majelis hakim yang memutuskan gugatan Prima  versus KPU tersebut. “Karena itu, putusannya pun menjadi salah. Karena tidak ada kewenangan PN memutuskan masalah sengketa pemilu,” sambung Hamdan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement