REPUBLIKA.CO.ID, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, anak atau peserta didik yang menjadi pelaku, saksi, maupun korban tindak kekerasan tetap wajib dipenuhi hak atas pendidikannya. Untuk itu, pihak sekolah wajib memberikan pelajaran terhadap mereka semua, jika tidak bisa secara luring, maka pembelajaran dapat dilakukan secara daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
"Pihak sekolah AG yang awalnya sempat menyatakan akan memberikan sanksi pada AG, diurungkan. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap kampus pelaku MDS yang langsung menjatuhkan DO. Apa yang dilakukan pihak sekolah AG sudah tepat dan sesuai aturan. Bahkan sekolah semestinya harus tetap memenuhi hak atas pendidikan AG selama yang bersangkutan berproses hukum, apalagi status AG masih berstatus sebagai saksi," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, Kamis (2/3/2023).
Dia menjelaskan, ketentuan anak atau peserta didik yang menjadi pelaku, saksi, atau korban tindak kekerasan tetap wajib dipenuhi hak atas pendidikannya merujuk pada UU Perlindungan Anak dan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Retno menambahkan, jika pun terjadi perubahan status AG dari saksi menjadi tersangka, maka hak atas pendidikannya tetap harus dipenuhi.
"Kalaupun terjadi perubahan status AG dari saksi menjadi tersangka nantinya karena adanya alat bukti pendukung, maka hak atas pendidikan AG pun selama proses hukum berjalan tetap harus dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundangan. Bisa dilakukan pembelajaran jarak jauh atau melalui daring," jelas Retno.
Ketua Tim Kajian Hukum FSGI, Guntur Ismail, mengatakan, FSGI mendorong semua pihak terkait agar tidak berupaya mengusulkan maupun mengambil keputusan yang merugikan hak atas pendidikan anak sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal itu dengan mempertimbangkan penghargaan terhadap penegak hukum Kepolisian RI yang sedang bekerja melaksanakan tugas serangkaian proses pidana korban penganiayaan David.
Sejauh ini, Polres Metro Jakarta Selatan telah menetapkan dua tersangka penganiayaan terhadap D, yakni anak pejabat DJP berinisial MDS dan temannya, berinisial S. MDS dan S ditetapkan sebagai tersangka setelah secara sadar melakukan penganiayaan pada Senin (20/2) malam dan video penganiayaan tersebut beredar viral di media sosial.
Kemudian, kuasa hukum tersangka S (19), Happy SP Sihombing menyebut saksi AG (15) juga ikut merekam video penganiayaan terhadap D yang dilakukan tersangka MDS anak pejabat Direktorat Jenderal Paak (DJP) pada Senin (20/2) malam.
"Setelah dikonfirmasi, jadi si AG yang juga teman wanita tersangka MDS (20) ini juga ikut merekam menggunakan handphone-nya sendiri," kata Happy saat ditemui di Polres Metro Jakarta Selatan, di Jakarta, Selasa (1/3/2023).
Happy menuturkan dengan demikian menurut keterangan kliennya, perekam video tersebut tidak dilakukan S saja melainkan juga bersama dengan AG (15). Terlebih, menurut dia, aksi merekam video ini dilakukan atas perintah tersangka MDS (20) padahal sebelumnya S tidak mengetahui adanya rencana penganiayaan terhadap D.
"Awalnya S diajak ke Lebak Bulus, namun ternyata dibawa ke tempat lain oleh MDS," tuturnya.
Disebutkan, S hanya menuruti perintah MDS dengan menaiki mobilnya hingga mengikuti permintaan untuk merekam video penganiayaan lantaran mereka sudah berteman sejak lama.