Sabtu 25 Feb 2023 05:13 WIB

Isu Penculikan yang Berujung Bentrokan Mematikan di Papua

Bentrokan terjadi di Sinakma, Wamena berujung meninggalnya 11 warga.

Rep: Bambang Noroyono / Red: Andri Saubani
Sejumlah warga membawa senjata panah berjalan usai kerusuhan massa di Wamena, Papua, Jumat (24/2/2023). Kapolda Papua Irjen Mathius D. Fakhiri menyebutkan kerusuhan yang dipicu isu penculikan anak tersebut mengakibatkan 10 orang tewas, puluhan orang luka-luka, dan belasan bangunan serta kendaraan bermotor hangus terbakar.
Foto: Antara/Iwan Adisaputra
Sejumlah warga membawa senjata panah berjalan usai kerusuhan massa di Wamena, Papua, Jumat (24/2/2023). Kapolda Papua Irjen Mathius D. Fakhiri menyebutkan kerusuhan yang dipicu isu penculikan anak tersebut mengakibatkan 10 orang tewas, puluhan orang luka-luka, dan belasan bangunan serta kendaraan bermotor hangus terbakar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA — Kabar tentang penculikan anak-anak di kota-kota di Papua masif belakangan. Bahkan informasi tentang penculikan-penculikan tersebut, berujung pada bentrokan mematikan juga pembunuhan.

Di Sinakma, Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Kamis (23/2/2023), simpang-siur penculikan anak-anak berujung pada kerusuhan yang menewaskan 11 warga asli dan pendatang. Pada Januari lalu, isu tentang penculikan anak-anak di Kota Sorong, Papua Barat juga berujung pada aksi main hakim sendiri para warga dengan membakar hidup-hidup si tertuduh penculik.

Baca Juga

Di Sinakma, kabar tak jelas tentang penculikan anak-anak itu berujung pada bentrokan tiga unsur. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri di satu pihak, dan warga pendatang, serta asli Papua di pihak lain.

Pegiat hak asasi manusia Papua di Wamena, Theo Hesegem saat dihubungi Republika menjelaskan, kerusuhan itu berawal dari warga pendatang yang menawarkan barang-barang, dan makanan kepada salah-satu keluarga asli Papua di Sinakma. Namun begitu, interaksi jual-beli itu berujung pada tuduhan terhadap si penjual sebagai penculik anak-anak.

Kesalahpahaman tersebut, berujung  dengan aksi pengumpulan massa. Sejumlah warga asli Papua mencoba melakukan ‘penghakiman’ sendiri terhadap si penjual yang merupakan warga  pendatang. Akan tetapi aksi ‘main hakim’ sendiri itu diantisipasi oleh pihak keamanan.

“Yang pendatang itu ditangkap pihak keamanan. Apakah dia penculik atau tidak, itu dalam penyelidikan,” ujar Theo, Jumat (24/2/2023). 

Akan tetapi, dikatakan Theo, respons warga asli di Sinakma, tak terima dengan cara aparat keamanan yang dinilai membela, dan menyelamatkan si terdtuduh penculik. “Karena sebenarnya, warga itu minta akan diselesaikan saja di atas (adat). Keluarga minta diselesaikan secara kekeluargaan saja,” kata Theo.

Lalu, permintaan itu tak dipenuhi aparat keamanan. Pihak kepolisian, bersama militer mengamankan si penjual dengan mobil antirusuh untuk penyelamatan ke kantor penyelidikan.

Warga asli tak terima. Mereka memaksa agar si tertuduh penculik anak itu dikeluarkan dari mobil keamanan dan ‘dihukum’ adat. “Karena tidak mungkin toh itu. Lalu warga marah, dan melempari pihak keamanan,” kata Theo.

Warga asli yang berkerumun semakin banyak di lokasi kejadian, kata Theo, pun direspons dengan pengerahan personel keamanan tambahan untuk meredakan situasi. Akan tetapi, kata Theo, semakin banyak warga yang berkerumun, dan personel keamanan yang siaga diyakini mengundang aksi-aksi sepihak dari pihak manapun.

Dari warga asli, kata Theo, ada juga yang memicu situasi semakin panas dengan menyerang petugas, dan warga-warga pendatang. Alhasil kata Theo, sekitar belasan ruko-ruko milik para pendatang di kawasan pasar itu juga turut menjadi sasaran.

Dari data yang dihimpun kelompoknya, Theo mengatakan, sedikitnya ada delapan kios-kios yang dibakar. Pihak keamanan yang juga menjadi sasaran utama, pun kata Theo tak tinggal diam.

Dengan senjata dan pentungan, usaha untuk membubarkan warga yang mengamuk, berujung pada bentrokan yang membuat sembilan warga asli meninggal dunia. Dan dua sampai tiga warga pendatang, juga dikabarkan hilang nyawa.

“Beberapa ada yang meninggal dunia karena ditembak,” ujar Theo. 

Polda Papua mengiyakan kerusuhan di Sinakma itu, memang terkait dengan informasi-informasi tak benar yang dikonsumsi masyarakat soal penculikan anak-anak yang marak belakangan. “Kerusuhan yang terjadi tersebut, diketahui awalnya dari adanya isu terkait penculikan anak-anak yang hingga kini belum jelas informasi dan kebenarannya,” begitu kata Kabid Humas Polda Papua, Komisaris Besar (Kombes) Ignatius Benny dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, pada Jumat (24/2/2023). 

Menurut Kombes Benny, warga pendatang dengan mengendarai mobil tujuan Kampung Yomaima di kawasan Sinakma, menjadi bulan-bulanan warga asli setempat karena dituduh sebagai penculik anak-anak. Kepolisian Resor (Polres) Jayawijaya bereaksi cepat mengamankan si warga pendatang.

Tetapi warga asli yang tak terima, sehingga dikatakan menyerang petugas. Kepolisian kata dia, dibantu bersama personil dari Kodim 1702 Jayawijaya dalam menenangkan, dan membubarkan massa warga asli. Tetapi kerusuhan tak dihindari karena para warga asli menyerang petugas, dan warga-warga pendatang di kawasan pasar tersebut.

Menurut Benny, petugas keamanan gabungan juga berusaha untuk memberikan perlindungan terhadap warga pendatang yang turut menjadi sasaran. “Sehingga kepolisian dan bantuan dari TNI memberikan tembakan peringatan. Namun tidak diindahkan, sehingga kerusuhan tidak dapat dihindari,” kata Benny menambahkan.

Akan tetapi, Polda Papua mengaku belum mendapatkan jumlah pasti korban jiwa, dan luka-luka. Hanya Kombes Benny memastikan, isu tentang penculikan anak-anak, dan ricuh di Sinakma itu dalam penanganan serius di Polres Jayawijaya.

Sebelumnya, isu tentang penculikan anak-anak itu juga berujung maut di Kota Sorong, Papua Barat. Pada Selasa (24/1/2023) lalu, seorang perempuan dibakar hidup-hidup karena dituduh sebagai penculik anak-anak.

Kabid Humas Polda Papua Barat Kombes Adam Erwindi pernah merilis tentang peristiwa sadis yang terjadi di Kompleks Kokoda, Lorong-2, Kelurahan Klasabi tersebut. Sebelum dibakar hidup-hidup, perempuan berusia antara 40-50an tahun itu sempat mendapatkan pengeroyokan oleh warga asli setempat. 

Bahkan disebutkan aksi massa brutal menelanjangi korban. “Saat kejadian, korban sempat diamankan oleh petugas-petugas dari Bhabinkamtibmas setempat. Tetapi massa terlalu banyak. Dan salah-satu dari massa menyiramkan bensin ke korban, dan membakar korban,” kata Kombes Adam, Selasa (24/1/2023) lalu.

Korban yang sempat dirawat pada salah-satu rumah sakit setempat, pun tak tertolong nyawanya. Namun setelah diselidiki, korban perempuan tersebut adalah sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). 

 

photo
Ilustrasi Anak Sekolah di Papua - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement