Kamis 23 Feb 2023 05:46 WIB

Putri Candrawathi Diyakini tidak Diperkosa dan Motif yang Lebih Tepat Menurut Hakim

Hakim dalam pertimbangan putusan yakin Putri Candrawathi tidak diperkosa Brigadir J.

Terdakwa Putri Candrawathi saat menjalani sidang vonis dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan hukuman penjara selama 20 tahun.
Foto:

Hakim berkeyakinan cerita Putri yang diperkosa Brigadir J itu karangan berdasarkan analisis yuridis, dan kajian psikologis, serta fakta nihilisme pembuktian. Analisis dan kajian itu kemudian dikolaborasikan dengan dengan fakta-fakta situasi di rumah Magelang, sejak Senin (4/7/2022) sampai Kamis (7/7/2022).

”Apabila mencermati keadaan yang terjadi pada tanggal 7 Juli 2022, tidak ada bukti-bukti pendukung yang valid dan akurat tentang adanya peristiwa pelecehan seksual, kekerasan seksual, atau bahkan pemerkosaan, dan perbuatan yang lebih dari pada itu,” kata hakim.

Hakim dalam putusannya menilai, cerita Putri diperkosa Brigadir J itu tak sesuai kriteria umum terjadinya tindakan asusila. Hakim mengutip Peraturan Mahkamah Agung (MA) 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Aturan tersebut menerangkan soal teori relasi kuasa atas tindak pidana kekerasan seksual.

“Bahwa relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidakseteraan dan atau ketergantungan status sosial, budaya dan pengetahuan atau pendidikan dan atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada suatu pihak pada pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan yang memiliki posisi lebih rendah,” terang hakim.

Hakim mengatakan, ada dua unsur penting dalam penjelasan relasi kuasa antargender dalam perkara terjadinya tindakan kekerasan seksual. Unsur pertama bersifat hierarkis. Meliputi posisi antara individu lebih rendah, dan lebih tinggi dalam satu kelompok atau nonkelompok.

Baca juga : ISESS Kritik Keputusan Polri Pertahankan Richard Eliezer Sebagai Anggota

Unsur kedua adanya ketergantungan. Artinya seseorang yang bergantung kepada orang lain karena status sosial, budaya, pengetahuan atau pendidikan, dan ekonomi.

Kedua unsur relasi kuasa tersebut menimbulkan adanya ketimpangan yang menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan seksual. Menurut hakim, ketimpangan relasi kuasa ini terjadi ketika pelaku kekerasan seksual merasa diri memiliki posisi lebih unggul, dan dominan dibandingkan korban.

Dari penjelasan tersebut, hakim melihat cerita Putri yang diperkosa Brigadir J tak menunjukkan kesesuaian dengan teori relasi kuasa. “Bahwa dalam hal ini, Putri Candrawathi  lebih unggul dari pada korban Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Putri Candrawathi merupakan istri dari Ferdy Sambo yang menjabat sebagai Kadiv Propam Polri dengan kepangkatan sebagai Inspektur Jenderal yang menjadi atasan dari korban Nofriansyah Yoshua Hutabarat yang hanya berpangkat Brigadir,” kata hakim.

Ada 18 hierarki kepangkatan Brigadir J dengan Sambo yang lebih tinggi. Dan itu, dikatakan hakim berpengaruh pada status sosial Putri di hadapan Brigadir J. 

Putri, pun memiliki latar pendidikan sebagai dokter gigi. Sementara, Brigadir J yang cuma lulus SLTA.

Relasi kuasa semakin timpang karena Brigadir J ajudan Sambo yang menjadi sopir  Putri. Juga dalam ekonomi, Putri orang yang mempercayakan sebagian uang kebutuhan Keluarga Sambo kepada Brigadir J. Itu dibuktikan dengan saldo dalam rekening Brigadir J  milik Putri dan Sambo.

“Kekerasan seksual biasanya dikaitkan dengan relasi kuasa. Ketika pelaku memiliki kekuasaan yang lebih daripada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi yang lebih tinggi, kekuasaan jenis kelamin satu terhadap jenis kelamin yang lain. Dan jumlah personal yang lebih banyak dari korbannya,” terang hakim.

Cerita Putri diperkosa Brigadir J, pun tak sesuai dari aspek penanganan psikologis. Hakim mengutip jurnal psikologis  tentang lima tahap kesedihan dalam pemulihan diri korban kekerasan seksual.

Hakim memerinci, tahap pertama umumnya korban kekerasan seksual mengalami denial atau penolakan, atau penyangkalan. Pada tahap itu korban cenderung melakukan penyangkalan, dan penolakan diri bahwa dirinya mengalami pemerkosaan. 

Baca juga : Garuda Segera Perjelas Ketentuan Jilbab Pramugari

Tahap kedua, adalah anger atau kemarahan. Menurut hakim, tahap tersebut lanjutan dari penyangkalan yang tak dapat dipertahankan lagi dalam diri korban. Pada tahap tersebut, kata hakim, diri korban menunjukkan sikap individu yang marah atas keadaan dirinya yang mengalami pemerkosaan. Tahap amarah, kata hakim, bahkan korban nekat melakukan penyerangan terhadap orang lain. 

Ketiga fase bargaining atau tawar-menawar terhadap diri sendiri. Yaitu tahapan kesedihan korban yang mulai mengembangkan harapan pribadi untuk menghilangkan memori pengalaman asusila yang dialaminya. Tahap ini, dikatakan hakim, korban mulai dapat menerima fakta bahwa dirinya pernah diperkosa.

Keempat fase depresi. Pada tahap tersebut, korban akan mengalami perubahan mental dan sikap yang drastis akibat dampak fisik, dan psikologis yang didera.

Kelima adanya fase accepted, atau penerimaan. Keadaan korban mulai berdamai dengan dirinya sendiri atas penerimaan fakta sebagai korban kekerasan seksual. Pada tahap tersebut, kata hakim, korban membuka dirinya dan melupakan pengalaman pahit yang pernah dialaminya.

 

 

Menurut hakim dari semua tahapan kesedihan pada diri korban itu tak terjadi dalam fase berurut. Tapi, tahapan-tahapan kesedihan itu terjadi dalam kurun waktu tak sebentar. Bahkan bisa sampai seumur hidup.

Dari penjelasan tersebut, hakim berkeyakinan Putri yang mengaku diperkosa Brigadir J, tak sesuai dengan semua fase kesedihan sebagai korban kekerasan seksual.

Baca juga : Tiga Debt Collector yang Viral Maki-Maki Polisi Ditangkap, Satu Dikejar Sampai Ambon

“Bahwa dari pengertian gangguan post traumatic stress disorder dan tahapan proses pemulihan korban kekerasan seksual, prilaku Putri Candrawathi yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual dari Nofriansyah Yoshua Hutabarat, bertentangan dengan tahap pemulihan sebagai korban kekerasan seksual,” kata hakim.

Hakim mengatakan keyakinannya itu berdasarkan fakta situasi peristiwa yang terjadi di Magelang. Terungkap di persidangan, pengakuan Putri sendiri yang saat siuman setelah dibopong saksi Susi dan Kuat ke dalam kamar sempat menanyakan tentang keberadaan Brigadir J.  

Putri sendiri mengaku meminta Bripka Ricky, dan Bharada Richard mencari Brigadir J. Lalu menghadapkan Briagdir J di dalam kamar Putri.

“Tindakan Putri Candrawathi yang mengaku dirinya mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh Nofriansyah Yoshua Hutabarat, memanggil dan menemui Nofriansyah Yoshua Hutabarat di dalam kamarnya adalah terlalu cepat untuk seseorang yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual Nofriansyah Yoshua Hutabarat yang dalam hal ini adalah sebagai pelaku kekerasan seksual tersebut,” kata hakim.

“Sehingga sangatlah tidak masuk akal dalih korban kekerasan seksual yang disampaikan oleh Putri Candrawathi tersebut,” kata hakim, melanjutkan. 

Hakim pun menguatkan pembuktian tentang kebohongan Putri dengan menjadikan hasil poligraf yang menunjukkan skor minus (-) 25. “Hasil poligraf terhadap Putri Candrawathi memperoleh hasil -25 yang terindikasi berbohong atas pertanyaan mengenai dirinya sebagai korban kekerasan seksual,” terang hakim.

Baca juga : Banyak Memilih Childfree atau tidak Menikah, Populasi Negara Ini Terus Menyusut

Selanjutnya keyakinan hakim yang tak percaya dengan terjadinya pemerkosaan oleh Brigadir J terhadap Putri itu karena tak adanya bukti-bukti medis berupa visum.

“Putri Candrawathi memiliki standar pendidikan tinggi, dengan latar belakang sebagai dokter gigi. Yang artinya memiliki standar kesehatan tinggi, sebagai bentuk preventif dalam masalah kesehatan. Namun ternyata tidak melakukan tes kesehatan, atau tes DNA, dan bahkan tidak melakukan visum et repertum atau rekam medis, berkaitan dengan peristiwa kekerasan seksual atau perkosaan yang dialaminya,” kata hakim.

Semakin yakin hakim menilai pemerkosaan itu tak ada, melihat Sambo sebagai suami dengan pengalaman tugas sebagai reserse di kepolisian yang tak membawa isterinya melakukan visum sebagai bukti surat terjadinya kekerasan seksual. Padahal dikatakan hakim, Sambo sebagai perwira tinggi Polri tentunya memahami hasil visum adalah bukti sahih dalam pembuktian tindak pidana kekerasan seksual. Sambo tentunya paham Pasal 24 ayat (3) huruf a Undang-undang (UU) 12/2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Aturan itu menjelaskan surat hasil visum sebagai salah satu bukti penting dalam pengungkapan kebenaran terjadinya kekerasan seksual.

“Sehingga berdasarkan kesimpulan tersebut, peristiwa pelecehan seksual, atau kekerasan seksual, atau perbuatan yang lebih dari pada itu, yang disebut sebagai motif atas terjadinya tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat tidak dapat diterima dan harus dikesampingkan. Bahwa adanya kekerasan seksual atau pemerkosaan yang dilakukan oleh Nofriansyah Yoshua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat diakui kebenarannya, karena tidak dapat dibuktikan menurut hukum,” kata hakim.

Jika Ferdy Sambo dijatuhi hukum mati, Putri Candrawathi divonis dengan pidana penjara seumur hidup. Terdakwa lain, Bripka Ricky Rizal (RR) dihukum pidana 13 tahun, sementara Kuat Maruf dihukum 15 tahun. Satu terdakwa yang dihukum paling ringan, yakni Bharada Ricahrd Eliezer yang diganjar pidana 1 tahun 6 bulan.

Terkait dengan pidana penjara 20 tahun Putri Candrawathi, pengacara Arman Hanis menyampaikan rasa kekecewaannya. Bagi Arman Hanis, Putri Candrawathi merupakan seorang korban dalam kasus ini.

Baca juga : Sidang Putusan Diskors, Surya Darmadi: Pak Hakim, Maaf Jantung Saya

"Pastilah kecewa. Merasa, kok, Ibu Putri khususnya, korban, dihukum seperti itu," kata Arman Hanis.

Kecuali Richard Eliezer, empat terdakwa lainnya, pada Selasa (14/2/2023), dan Rabu (15/2/2023) menyatakan banding atas vonis dan hukuman dari peradilan tingkat pertama itu.

“Sesuai dengan data di SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) para terdakwa pembunuhan berencana almarhum Yoshua Hutabarat (Brigadir J) menyatakan banding atas putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan,” kata Pejabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Djuyamto kepada wartawan lewat pesan singkat, di Jakarta, Kamis (16/2/2023).

“Tiga terdakwa yang mengajukan banding tertanggal 16 Februari 2023, adalah FS, PC, dan RR,” begitu sambung Djuyamto.

 

photo
Sambo cs Melawan - (Republika/berbagai sumber)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement