REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI merespons kritik yang dilontarkan mantan ketua Bawaslu bahwa lembaga itu hanya diam membisu terkait dugaan kecurangan KPU. Bawaslu berterima kasih atas kritikan itu, tapi mereka punya alasan tersendiri mengapa tidak mengusut dugaan manipulasi data partai politik tersebut.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, pihaknya tidak bisa mengusut perkara tersebut karena permasalahannya ada di internal KPU. Alat buktinya juga berasal dari internal KPU.
Bagja mengetahui hal itu usai mencermati persidangan perkara tersebut di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). "Kami melihat apa yang terjadi pada saat ini di DKPP adalah sangat internal KPU," kata Bagja saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (14/2/2023) malam.
Karena perkaranya sangat intenal, lanjut Bagja, tentu Bawaslu tidak punya akses untuk mengusutnya. Bawaslu tidak bisa mengakses pesan WhatsApp anggota KPU yang diduga terlibat dugaan kecurangan itu.
"Jangankan akses terhadap WhatsApp internal KPU, akses terhadap Sipol saja kami dibatasi," kata Bagja. Sipol atau Sistem Informasi Partai Politik merupakan platform yang digunakan KPU untuk pendaftaran hingga verifikasi partai politik.
Bawaslu, lanjut dia, tentu tidak bisa mengusut perkara dugaan kecurangan ini hanya berdasarkan desas-desus yang beredar. "Omongan gosip kan nggak usah kami perhitungkan, kecuali sudah ada pergerakan," kata Bagja.
Bagja menambahkan, selain kesulitan akses, pihaknya juga tidak menerima laporan dugaan kecurangan tersebut. Pengadu bersama koalisi masyarakat sipil hanya membuat aduan ke DKPP.
Kendati begitu, lanjut dia, Bawaslu akan terus mencermati persidangan perkara dugaan kecurangan ini di DKPP. Fakta-fakta persidangan akan digunakan untuk mengusut unsur pelanggaran pidananya.
Untuk diketahui, DKPP sedang menyidangkan perkara dugaan pelanggaran kode etik 10 penyelenggara pemilu terkait dugaan kecurangan KPU. Sidang sudah masuk agenda pembuktian pada Selasa (14/2/2023). Pihak pengadu menghadirkan bukti-bukti berupa rekaman audio rapat internal KPU Sulawesi Utara dan video klarifikasi internal KPU Kepulauan Sangihe.
Pengadu perkara ini adalah Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, Jeck Stephen Seba. Dia mengadukan koleganya sendiri sebanyak 10 orang, yakni tiga komisioner KPU Sulawesi Utara, dua pejabat kesekretariatan KPU Sulawesi Utara, tiga komisioner KPU Kepulauan Sangihe, satu pejabat kesekretariatan KPU Kepulauan Sangihe, dan Komisioner KPU RI Idham Holik.
Sembilan nama yang tersebut pertama diadukan karena diduga memanipulasi data berita acara hasil verifikasi partai politik dalam Sipol, dalam kurun waktu 7 November sampai 10 Desember 2022. Manipulasi data itu diduga dilakukan untuk mengubah status kelolosan Partai Gelora, Partai Garuda, PKN, dan Partai Buruh yang awalnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS).
Adapun Komisioner KPU RI Idham Holik diadukan karena diduga mengancam anggota KPU daerah dengan kalimat, "perintah harus tegak lurus, tidak boleh dilanggar, dan bagi yang melanggar akan dimasukkan ke rumah sakit". Kalimat tersebut disampaikan Idham di hadapan seluruh peserta Konsolidasi Nasional KPU se-Indonesia di Ancol, Jakarta Utara, pada awal Desember 2022. Kalimat itu diyakini merupakan ancaman kepada anggota KPU daerah yang tidak mau ikut memanipulasi data partai.
Sebelum perkara tersebut masuk tahap persidangan, mantan Ketua Bawaslu RI Bambang Eka Cahya melontarkan kritikan keras terhadap lembaga yang pernah ia pimpin itu. Bambang mengaku prihatin melihat Bawaslu RI yang hanya diam terkait perkara dugaan kecurangan tersebut.
"Aneh sekali, ada peristiwa begitu besar, tapi tidak ada suara apa pun dari Bawaslu," kata Bambang dalam sebuah diskusi daring, Selasa (7/2/2023).
Bambang semakin prihatin mengetahui bahwa dugaan kecurangan ini ditemukan dan diadvokasi oleh koalisi masyarakat sipil, bukan oleh Bawaslu. Padahal, Bawaslu adalah lembaga resmi yang punya regulasi dan aparat sampai tingkat daerah untuk mengusut dugaan kecurangan.