REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan yang kuat dan menakutkan dalam hal penindakan. Namun kuatnya kewenangan tersebut justru tak diterapkan kepada kawannya, yang disebutnya sebagai bagian dari koalisi.
"Tadi yang saya bilang kesan, namanya kesan bisa aja salah. Supaya tidak ada kesan tajam ke lawan, lembek ke teman, kalau bahasa Pak Arsul tadi tajam ke oposisi, lembek ke koalisi," ujar Benny dalam rapat kerja dengan KPK, Kamis (9/2/2023).
Salah satu yang dikritiknya adalah sistem operasional prosedur (SOP) dari KPK dalam hal penanganan perkara. Terutama yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan di tingkat pimpinan komisi antirasuah itu.
"Poin saya sekali lagi, kita menghormati itu adalah kewenangan KPK dan kita mendukung penuh itu. Hanya saja supaya tidak ada kesan ada hal-hal yang subjektif sifatnya, mungkin yang tadi saya sampaikan perlu dijelaskan secara terbuka dalam forum ini, tentang mekanisme dan prosesnya," ujar Benny.
"Means-nya kewenangan yang luar biasa, maka kita ingin tahu ini penggunaan kewenangan ini jangan sampai muncul kesan-kesan seperti yang tadi saya sampaikan, ada subjektifitas, tebang pilih, pilih kasih," sambung Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, pihaknya memang kerap mendatangi kementerian/lembaga dalam rangka pemantauan. Jelasnya, pemantauan tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Jadi kita bukan cawe-cawe sebenarnya Pak, tapi amanat UU, terpaksa kita datang ke kementerian kita lihat apakah peraturan kementerian sudah betul-betul memastikan bahwa tidak akan terjadi korupsi," ujar Firli dalam rapat kerja dengan Komisi III.
"Tidak ada celah korupsi, itu kita pastikan," sambungnya menegaskan.