REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk mengusut keterlibatan petinggi Polri dalam kasus dugaan suap tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) yang menjerat Ismail Bolong. Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, komitmen lembaga antirasuah ini sedang diuji terkait desakkan tersebut.
"Saya kira tidak ada hambatan struktural atau sistemik yang bisa menghalangi KPK, tinggal bagaimana komitmen KPK-nya saya menyaksikan korupsi yang nyata apakah akan didiamkan saja," kata Fickar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/2/2023).
Fickar menjelaskan, KPK memang tidak bisa sembarangan mengambil alih kasus yang sudah ditangani oleh Polri itu. Namun, ia menilai, Pimpinan KPK bisa bermusyarah untuk pengambilalihan perkara tersebut, jika ditemukan adanya dugaan korupsi yang lebih cocok ditangani oleh lembaga antirasuah itu.
"Kecuali diketahui dalam penanganan kasus itu ada korupsinya, KPK bisa langsung mengambil alih kasusnya, termasuk korupsi oleh penegak hukumnya," jelas Fickar.
KPK pun dinilai bisa lebih tegas mengusut kasus dugaan suap tambang ilegal di Kalimantan Timur itu. Sebab, KPK tidak akan pandang bulu membongkar siapa saja para petinggi Korps Bhayangkara yang diduga terlibat dalam kasus ini.
"Saya yakin KPK sedang mengumpulkan alat bukti yang cukup. Pada suatu ketika sudah memenuhi persyaratan untuk penetapan tersangkanya, maka akan dilakukan itu," ujar dia.
Sebelumnya, Bareskrim Polri menetapkan Ismail Bolong sebagai tersangka sejak Selasa (7/12/2022). Namun Bareskrim Polri baru mengumumkan status tersangka itu pada Senin (12/12/2022) bersamaan dengan pengumuman dua tersangka lainnya, BP dan RP.
Penetapan tersangka tersebut terkait dengan kasus pengelolaan tambang batubara ilegal. Padahal kasus tersebut, berawal dari adanya dugaan suap dan gratifikasi, serta bagi hasil bisnis tambang ilegal bersama para petinggi-petinggi Mabes Polri. Bahkan nama Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Agus Andrianto juga diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Ismail Bolong semula menyebarkan video testimoni. Ismail Bolong sebelumnya adalah anggota Sat Intel Polres Kota Samarinda. Ia juga memiliki bisnis tambang ilegal di delapan tempat di wilayah Kaltim.
Dalam pengakuannya, Ismail Bolong membeberkan adanya uang setoran dan bagi hasil kegiatan tambang batubara ilegal di Marang Kayu, Bontang kepada sejumlah perwira tinggi di Mabes Polri.
Dalam pengakuannya itu, Ismail Bolong menyebut menyetorkan uang setotal Rp 6 miliar pada 2021 untuk Kabareskrim. Namun setelah pengakuannya itu beredar muncul testimoni kedua yang meralat pernyataannya tentang uang setoran untuk Komjen Agus.
Ismail Bolong mengatakan testimoni pertama itu dibuat pada Februari 2022. Video tersebut kata dia dibikin dalam tekanan, dan atas perintah Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendra Kurniawan yang saat itu menjabat sebagai Karo Paminal Divisi Propam Polri.
Setelah muncul testimoni Ismail Bolong, terungkap ke publik dua Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) Propam Polri. Dua LHP Propam bertanggal 18 Maret 2022 dengan nomor Nota Dinas R/ND-13/III/WAS.2.4/2022/Ropaminal yang ditandatangani Brigjen Hendra Kurniawan, dan LHP 7 April 2022 bernomor R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam yang ditandatangani Kadiv Propam Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo.
Dua LHP berisikan materi yang sama. Yakni tentang hasil penyelidikan Divisi Propam tentang tambang batubara ilegal di Kabupaten Kutai Kertanegara, Bontang, Paser, Samarinda, dan Berau.