REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mabes Polri akan segera melimpahkan perkara tersangka Ismail Bolong terkait perizinan tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) ke jaksa penuntut umum (JPU). Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipiter) Bareskrim Polri sudah menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut.
Namun penyidik tak menyentuh perkara terkait dugaan setoran dan bagi hasil pertambangan ilegal yang diduga melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo menerangkan, selain Ismail Bolong (IB), dalam kasus perizinan tambang ilegal, dua tersangka lainnya adalah BP, dan RP.
“Fokus penyidikan adalah pemberkasan terhadap ketiga tersangka, dan fokus penyidik juga untuk segera melimpahkan berkas perkara ketiga tersangka ke kejaksaan. Itu dulu terkait Ismail Bolong,” kata Dedi saat dikonfirmasi dari Jakarta, Ahad (18/12/2022).
Tersangka Ismail Bolong, bersama RP, dan BP sebelumnya pernah diterangkan sebagai penambang batubara ilegal dan pemilik PT Energindo Mitra Pratama (EMP). Perusahaan tersebut dituding melakukan aktivitas penambangan batubara ilegal di Desa Tanjung Limau, Muara Badak, Kutai Kertanegara, Kaltim. Dirtipidter Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Pipit Rismanto pernah menjelaskan aktivitas penambangan perusahaan itu dilakukan sejak November 2021.
Namun aktivitas penambangan batubara yang dilakukan perusahaan tersebut, dilakukan tanpa perizinan, atau IUP. “Para tersangka tersebut adalah yang mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal, pada lingkungan PKP2B perusahaan lain, dan menjabat pada PT EMP yang tidak memiliki IUP untuk melakukan penambangan,” terang Pipit pekan lalu.
Ketiga tersangka, Ismail Bolong, RP, dan BP dijerat dengan sangkaan Pasal 158, dan Pasal 161 Undang-undang (UU) 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kasus yang menyangkut Ismail Bolong ini, sebetulnya berawal dari video testimoni buatannya yang tersebar ke publik bulan lalu. Ismail Bolong sebelumnya adalah anggota Sat Intel Polres Kota Samarinda. Ia juga memiliki bisnis tambang ilegal di delapan tempat di wilayah Kaltim.
Dalam pengakuannya Ismail Bolong membeberkan adanya uang setoran dan bagi hasil kegiatan tambang batubara ilegal di Marang Kayu, Bontang kepada sejumlah perwira tinggi di Mabes Polri. Bahkan dalam pengakuannya itu Ismail Bolong menyebut menyetorkan uang setotal Rp 6 miliar pada 2021 untuk Kabareskrim Komjen Agus Andrianto.
Namun setelah pengakuannya itu beredar, muncul testimoni kedua yang meralat pernyataannya tentang uang setoran untuk Kabareskrim. Ismail Bolong mengatakan testimoni pertama itu dibuat pada Februari 2022. Video tersebut kata dia, dibuat dalam tekanan, dan atas perintah Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendra Kurniawan yang saat itu menjabat sebagai Karo Paminal Divisi Propam Polri.
Akan tetapi setelah muncul testimoni Ismail Bolong, terungkap ke publik dua Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) Propam Polri. Dua LHP Propam bertanggal 18 Maret 2022 dengan nomor Nota Dinas R/ND-13/III/WAS.2.4/2022/Ropaminal yang ditandatangani Brigjen Hendra Kurniawan. Kedua, LHP 7 April 2022 bernomor R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam yang ditandatangani Kadiv Propam Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo.
Dua LHP berisikan materi yang sama. Yakni tentang hasil penyelidikan Divisi Propam tentang tambang batubara ilegal di Kabupaten Kutai Kertanegara, Bontang, Paser, Samarinda, dan Berau. Dari penyelidikan terungkap kegiatan tambang ilegal tersebut dibekingi para pejabat utama dari jajaran Polda Kaltim sampai Bareskrim Polri.
Disebutkan dalam LHP, sejumlah nama para perwira tinggi Polri yang turut mendapatkan setoran dan bagi hasil dari kegiatan tambang ilegal tersebut sepanjang Juli 2020 sampai September 2021. Beberapa petinggi Polri yang turut mendapatkan bagian adalah Irjen Herry Rudolf Nahak mendapatkan Rp 5 miliar; Brigjen Hariyanto Rp 1 miliar; Kombes Jefrianus Rp 800 juta; Kombes Gatut Rp 600 juta; Kombes Tatar Rp 600 juta; Kombes Indra Lutrianto Amstono Rp 900 juta; AKBP Era Joni dan AKBP Bimo Aryanto Rp 500 juta; dan jajaran Kapolres Rp 600 juta.
Dalam LHP tersebut juga terungkap nama Aiptu Ismail Bolong dari Satuan Intelkam Polres Samarinda yang mengelola delapan titik tambang batubara ilegal, di kecamatan Marang Kayu, Bontang. Terhadap Ismail Bolong tersebut dua LHP Propam itu menyebutkan adanya setoran uang senilai Rp 3 miliar kepada Kombes Budi Haryanto selaku Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) sebanyak tiga kali pada Oktober, November, dan Desember 2021.
Lalu uang setoran langsung Ismail Bolong kepada Kepala Bareskrim Komjen Agus Andrianto sepanjang Oktober, November, dan Desember 2021. “Selain itu juga memberikan uang koordinasi kepada Komjen Pol Drs Agus Andrianto SH MH selaku Kabareskrim Polri secara langsung di ruang kerja Kabareskrim Polri dalam bentuk USD sebanyak tiga kali, yaitu bulan Oktober, November, dan Desember 2021 senilai Rp 2 miliar setiap bulannya,” begitu dalam huruf h LHP tersebut.
Dalam dua LHP Propam Polri itu juga disebutkan uang-uang setoran dari kegiatan tambang batubara ilegal itu, juga melibatkan sejumlah pengusaha atas nama Tan Paulin dan Leny yang disebut-sebut punya kedekatan dengan unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Setmilpres. Masih dalam LHP Propam tersebut, dalam huruf j juga disebutkan adanya peran Brigjen Pipit Rismanto selaku Dirtipidter Bareskrim Polri yang mengetahui reputasi Aiptu Ismail Bolong sebagai anggota kepolisian yang melakukan kegiatan penambangan batubara ilegal di kawasan hutan Gunung Menangis.
Namun disebutkan dalam LHP itu Brigjen Pipit tak mengambil tindakan hukum, karena mendapatkan pesan dari Kombes Budi Haryanto (Kasubdit V Dittipidter) terkait adanya keterlibatan Kabareskrim Komjen Agus. Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan saat ditemui terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) membenarkan soal dua LHP tersebut. “Begini ya, laporan resmi sudah saya sampaikan ke pimpinan (Kapolri) secara resmi ya. Sehingga artinya proses di Propam sudah selesai. Itu (penerimaan) melibatkan perwira-perwira tinggi (Polri),” ujar Sambo di PN Jaksel, Selasa (29/11/2022).
Hendra Kurniawan pun menyampaikan sama. “Faktanya seperti itu,” ujar dia. Ferdy Sambo, dan Hendra Kurniawan sudah dipecat dari Polri. Ferdy Sambo menjadi terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (J). Sedangkan Hendra menjadi terdakwa perintangan penyidikan kasus kematian Brigadir J.
Bareskrim Polri tak dapat melakukan proses hukum atas sangkaan yang tak memiliki barang bukti. Itu sebabnya, menurut Dedi, fokus penyidikan sementara ini hanya seputar soal dugaan aktivitas pertambangan ilegal, yang dilakukan oleh para tersangka yang sudah ditetapkan. “Bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan dari fakta-fakta hukum, dan alat bukti. Dan penyidik bertanggungjawab atas sangkaan yang sudah ditetapkan saat ini sampai ke pengadilan,” ujar Dedi.